Translate

Sabtu, 29 Desember 2012

Bahasa Indonesia : Sejarah, Fungsi dan Kedudukannya

Bahasa Indonesia : Sejarah, Fungsi dan Kedudukannya.

SEJARAH

Bahasa Indonesia, Sebelum Era Kemerdekaan

Indonesia, adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, dan juga bahasanya. Membahas tentang bahasa, bahasa Indonesia pada dasarnya merupakan variasi dari bahasa Melayu (Austronesia). Jauh sebelum Indonesia merdeka, bahasa Melayu sudah dipergunakan pada masa kerajaan - kerajaan Hindu - Budha dan Islam.

Pada zaman kerajaan Hindu - Budha, bahasa Melayu mengalami percampuran bahasa dengan bahasa Sansekerta, dimana itu dapat di buktikan di 5 prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya.

Dan pada zaman itu, bahasa Melayu berfungsi sebagai :
  1. Bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisia aturan-aturan hidup dan sastra.
  2. Bahasa perhubungan (Lingua Franca) antar suku di indonesia
  3. Bahasa perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun pedagang yang berasal dari luar indonesia.
  4. Bahasa resmi kerajaan.
Bahasa Melayu pun turut tersebar luas sampai ke pelosok - pelosok nusantara, sehubungan dengan datang dan menyebarnya Islam di wilayah nusantara. Dan bahasa Melayu kembali mengalami percampuran dengan bahasa lain, yakni bahasa Arab.

Karena bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara, sehingga keberadaannya semakin kokoh sebagai bahasa penghubung antar pulau. Dan keberadaan bahasa Melayu ini, mendorong timbulnya rasa persatuan dan kesatuan di wilayah Nusantara, sehingga pada 28 Oktober 1928, para pemuda - pemudi berkumpul, merumuskan sebuah sumpah, yang biasa dikenal dengan "Sumpah Pemuda" ,yang berisikan :

1. Kami, pemuda - pemudi Indonesia mengaku, bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
2. Kami, pemuda - pemudi Indonesia mengaku, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3. Kami, pemuda - pemudi indonesia mengaku, berbahasa yang satu, bahasa persatuan, bahasa Indonesia.



Ada empat faktor yang menyebabkan Bahasa melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yaitu:

  1. Bahasa melayu adalah merupakan Lingua Franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdagangan.
  2. Sistem bahasa melayu sederhana, mudah di pelajari karena dalam bahasa melayu tidak di kenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
  3. Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku2 yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa melayu menjadi bahasa indonesia sebagai bahasa nasional.
  4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk di pakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.


Bahasa Indonesia, Setelah Era Kemerdekaan

Bahasa Indonesia sudah diakui sebagai bahasa persatuan pada 28 Oktober 1928, namun baru diresmikan satu hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada sidang konstitusi tanggal 18 Agustus 1945. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 di sahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di dalam UUD 1945 di sebutkan bahwa “Bahasa Negara Adalah Bahasa Indonesia,(pasal 36). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara.

Peresmian Nama Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahas persatuan bangsa Indonesia. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagi bahasa kerja. Dari sudut pandang Linguistik, bahasa indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu-Riau dari abad ke-19.

Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagi bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” di awali sejak di canangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan “Imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap di gunakan.

Proses ini menyebabkan berbedanya bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang di gunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun di pahami dan di tuturkan oleh lebih dari 90% warga indonesia, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari - hari (kolokial) atau mencampur adukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya.


Bahasa Indonesia, Era Modern

Bahasa Indonesia di era modern, telah diatur. Pada Tahun 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara). Namun pada kenyataannya, bahasa Indonesia juga mengalami berbagai macam percampuran bahasa, baik dari bahasa - bahasa daerah, maupun bahasa - bahasa asing, terutama bahasa Inggris, Arab dan bahasa China. Hingga saat ini, bahasa Indonesia telah digunakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari - hari, bahkan ada juga universitas - universitas, baik dalam atau luar negeri yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai metri perkuliahan.

Peristiwa peristiwa penting yang berhubungan dengan perkembangan bahasa Indonesia

  1. Pada tahun 1901 disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. Van Ophuiysen dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
  2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat).
  3. Tahun 1917, badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
  4. Pada Tahun 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan memancangkan tonggak yang kokoh untuk perjalanan bahasa Indonesia.
  5. Pada tahun 1933 secara resmi berdiri sebuah angkatan sastrawan muda  yang menamakan dirinya pujangga baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan
  6. Pada Tahun 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
  7. Masa pendudukan Jepang (1942-1945) merupakan pula suatu masa penting. Jepang memilih bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi resmi antara pemerintah Jepang dengan rakyat Indonesia karena niat menggunakan bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda untuk alat komunikasi tidak terlaksana. Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan dan untuk keperluan ilmu pengetahuan. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara.
  8. Pada tanggal 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan Van Ophuysen yang berlaku sebelumnya.
  9. Tahun 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
  10. Pada Tahun 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).


FUNGSI BAHASA


Fungsi bahasa dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu fungsi bahasa secara umum dan secara khusus.

Dalam literatur bahasa, dirumuskannya fungsi bahasa secara umum bagi setiap orang adalah

1. Sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan atau mengekspresikan diri.
Mampu mengungkapkan gambaran,maksud ,gagasan, dan perasaan. Melalui bahasa kita dapat menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam hati dan pikiran kita. Ada 2 unsur yang mendorong kita untuk mengekspresikan diri, yaitu:
* Agar menarik perhatian orang lain terhadap diri kita.
* Keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi.

2. Sebagai alat komunikasi.
Bahasa merupakan saluran maksud seseorang, yang melahirkan perasaan dan memungkinkan masyarakat untuk bekerja sama. Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Pada saat menggunakan bahasa sebagai komunikasi,berarti memiliki tujuan agar para pembaca atau pendengar menjadi sasaran utama perhatian seseorang. Bahasa yang dikatakan komunikatif karena bersifat umum. Selaku makhluk sosial yang memerlukan orang lain sebagai mitra berkomunikasi, manusia memakai dua cara berkomunikasi, yaitu verbal dan non verbal. Berkomunikasi secara verbal dilakukan menggunakan alat/media bahsa (lisan dan tulis), sedangkan berkomunikasi cesara non verbal dilakukan menggunakan media berupa aneka symbol, isyarat, kode, dan bunyi seperti tanda lalu lintas,sirene setelah itu diterjemahkan kedalam bahasa manusia.

3. Sebagai alat berintegrasi dan beradaptasi sosial.
Pada saat beradaptasi dilingkungan sosial, seseorang akan memilih bahasa yang digunakan tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi. Seseorang akan menggunakan bahasa yang non standar pada saat berbicara dengan teman- teman dan menggunakan bahasa standar pada saat berbicara dengan orang tua atau yang dihormati. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa memudahkan seseorang untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa.

4. Sebagai alat kontrol Sosial.
Yang mempengaruhi sikap, tingkah laku, serta tutur kata seseorang. Kontrol sosial dapat diterapkan pada diri sendiri dan masyarakat, contohnya buku- buku pelajaran, ceramah agama, orasi ilmiah, mengikuti diskusi serta iklan layanan masyarakat. Contoh lain yang menggambarkan fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita.

Fungsi bahasa secara khusus :

1. Mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari- hari.
Manusia adalah makhluk sosial yang tak terlepas dari hubungan komunikasi dengan makhluk sosialnya. Komunikasi yang berlangsung dapat menggunakan bahasa formal dan non formal.

2. Mewujudkan Seni (Sastra).
Bahasa yang dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan melalui media seni, seperti syair, puisi, prosa dll. Terkadang bahasa yang digunakan yang memiliki makna denotasi atau makna yang tersirat. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman yang mendalam agar bisa mengetahui makna yang ingin disampaikan.

3. Mempelajari bahasa- bahasa kuno.
Dengan mempelajari bahasa kuno, akan dapat mengetahui peristiwa atau kejadian dimasa lampau. Untuk mengantisipasi kejadian yang mungkin atau dapat terjadi kembali dimasa yang akan datang, atau hanya sekedar memenuhi rasa keingintahuan tentang latar belakang dari suatu hal. Misalnya untuk mengetahui asal dari suatu budaya yang dapat ditelusuri melalui naskah kuno atau penemuan prasasti-prasasti.

4. Mengeksploitasi IPTEK.
Dengan jiwa dan sifat keingintahuan yang dimiliki manusia, serta akal dan pikiran yang sudah diberikan Tuhan kepada manusia, maka manusia akan selalu mengembangkan berbagai hal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia akan selalu didokumentasikan supaya manusia lainnya juga dapat mempergunakannya dan melestarikannya demi kebaikan manusia itu sendiri.

KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting yang tercantum didalam :

1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, “ Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

2. Undang- Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan lambing Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.

Maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai :

1. Bahasa Nasional
Kedudukannya berada diatas bahasa- bahasa daerah. Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :
· Lambang kebanggaan Nasional.
Sebagai lambang kebanggaan Nasional bahasa Indonesia memancarkan nilai- nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga, menjunjung dan mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
· Lambang Identitas Nasional.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa Indonesia. Berarti bahasa Indonesia akan dapat mengetahui identitas seseorang, yaitu sifat, tingkah laku, dan watak sebagai bangsa Indonesia. Kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
· Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya.
Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, karena mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Karena dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
· Alat penghubung antarbudaya antardaerah.
Manfaat bahasa Indonesia dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa Indonesia seseorang dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan mudah diinformasikan kepada warga. Apabila arus informasi antarmanusia meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan seseorang. Apabila pengetahuan seseorang meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.

2. Bahasa Negara (Bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Dalam Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai :
· Bahasa resmi kenegaraan.
Bukti bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan adalah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu bahasa Indonesia digunakan dalam segala upacara, peristiwa serta kegiatan kenegaraan.
· Bahasa pengantar resmi dilembaga-lembaga pendidikan.
Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar, materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing. Apabila hal ini dilakukan, sangat membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek).
· Bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.
Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
· Bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Kebudayaan nasional yang beragam yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula. Dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakan bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.

Rabu, 26 Desember 2012

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Islam



ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN ISLAM
  1. ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN ISLAM
            Gagasan islamisasi, sebagai fenomena modernitas, menarik untuk dicermati dan menjadi great project bagi kalangan masyarakat Muslim. Gagasan ini muncul untuk merespons perkembangan pengetahuan modern yang didominasi peradaban Barat non-Islam. Dominasi peradaban sekuler menjadi faktor dominan dari kemunduran umat Islam. Padahal, dalam sejarah awal perkembangannya, umat Islam mampu membuktikan diri sebagai kampiun pertumbuhan peradaban dan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam terus memudar seiring dengan merosotnya kekuasaan politik Islam. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Barat, secara tidak langsung, berimplikasi positif bagi dunia Islam. Paling tidak, dunia Islam sadar akan terbelakangnya peradaban dan ilmu pengetahuan di kalangan mereka. Sehingga, berangkat dari kesadaran dimaksud, pada awal abad kedua puluh Islam mengalami dinamika baru melalui reorientasi dan transformasi ajarannya. Kebangkitan Islam pada awal abad ini diidentifikasi sebagai upaya memandang modernisasi yang berkembang dalam bingkai Islam. Dalam bahasa Huntington, ia dipahami sebagai perwujudan dari penerimaan terhadap modernitas, penolakan terhadap kebudayaan Barat, dan re-komitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern. Dari sini nyata bahwa kebangkitan Islam bukan berarti menolak kehidupan modern. Ia justru mendorong umatnya untuk menjalani arus kehidupan modern yang memang tak terbendung. Sehingga, Islam dapat mengartikulasikan ajarannya dalam semua sisi kehidupan modern. Respons terhadap modernisasi disikapi umat Islam dengan tetap bertopang pada ajaran Islam. Wujud nyata dari sikap umat adalah munculnya proses islamisasi kehidupan modern di kalangan masyarakat Islam. Maka, tidak berlebihan, bila sejak tahun 1970-an konsep islamisasi pengetahuan mulai dibumikan oleh al-Attas. Kebangkitan Islam, yang secara massif dibarengi simbolisasi Islam dalam kehidupan masyarakat Muslim, semakin mendorong isu islamisasi. Sehingga, pada dekade tahun 1980–an yang merupakan titik awal gerakan al-Faruqi, isu islamisasi ini mengambil obyek ilmu pengetahuan. Di sini al-Faruqi berupaya memadukan nilai etis dan agama dengan ilmu pengetahuan modern. Proses islamisasi ilmu pengetahuan tidak diarahkan untuk menolak pengetahuan yang ada. Kecuali itu, ia merupakan upaya holistik dalam upaya integrasi dua kajian, wahyu dan alam, untuk menemukan alternatif metode pengetahuan yang mampu mengeluarkan manusia modern dari krisis peradaban destruktif. Pelibatan aspek wahyu dalam metode pengetahuan, sebagai proses islamisasi, berbanding terbalik dengan metode yang berkembang di kalangan ilmuan Barat modern. Metode pengetahuan modern tidak lagi mempertimbangkan aspek nilai, apalagi wahyu, dan bahkan secara ekstrim ia tidak lagi memberikan tempat pada nilai-nilai manusiawi. Ini terlihat dari pernyataan Sardar bahwa desakan untuk menolak semua pertimbangan nilai dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan menyebabkan metode pengetahuan modern memperlakukan obyek penyelidikan, baik manusia maupun bukan manusia, sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi, dimanipulasi dan dibedah atas nama sains. Menyadari kondisi demikian, ilmuan Muslim berupaya mengajukan metode pengetahuan dengan bertumpu pada ajaran Islam.
  1. TOKOH ILMUAN MUSLIM
Usaha-usaha ilmuan Muslim itu memusatkan diri di sekitar masalah islamisasi ilmu pengetahuan. Beperapa tokoh yang memiliki concern besar dalam persoalan ini, antara lain adalah

  • Syed Muhammad Naquib al-Attas,
  • Isma’il Raji al-Faruqi,
  • Ziauddin Sardar.
Maka, dengan mempertimbangkan uraian di atas, kajian ini berupaya menelusuri bagaimana konsep islamisasi ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut. Konsep yang ditawarkan al-Faruqi adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak semuanya kontradiktif dengan nilai-nilai Islam, sehinga menurutnya, islamisasi pengetahuan adalah melakukan penyaringan dari ilmu pengetahuan yang telah ada dengan mempertimbangkan nilai-nilai Islam. Metode konsepsi yang demikian dianggap sebagai metode integrasi antara teori dan tradisi keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang sekuler. Sedangkan Sardar berpandangan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses yang memulai pengembangan semua cabang ilmu dari titik awal. Dari pada “mengislamkan” disiplin-disiplin yang telah berkembang dalam peradaban Barat, kaum Muslim lebih tepat untuk mengkonstruk paradigma-paradigma Islam, karena dengan itulah tugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan urgen masyarakat Muslim bisa terlaksana. Pengembangan melalui strategi ini akan menghindari kontaminasi dari pemikiran Barat yang memang memiliki paradigma dan semangat yang berbeda dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Sementara al-Attas memiliki alasan yang hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Sardar, namun dengan implementasi yang berbeda. Al-Attas berpendapat bahwa islamisasi harus menyeluruh dari filosofi, paradigma hingga proses pembelajarannya yang menyesuaikan dengan karakteristik keilmuan Islam. Proses pembelajarannya mengamini dan melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh para intelektual Muslim pada masa lalu. Dominasi intelektual Muslim pada periode keemasan Islam merefleksikan keunggulan sistem pendidikan atau pembelajaran ilmu pengetahuan.



  1. WESTERNISASI DAN ISLAMISASI ILMU
  1. Westernisasi Ilmu Pengetahuan
Pada zaman modern, filsafat Imman­uel Kant sangat berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu penge­tahuan yang dimunculkan David Humme yang skeptik.Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak bersandarkan ke­pada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik – a priori sep­erti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fak­ta empiris.
  1. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Mengingat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang populer di tahun 80-an, sejatinya telah dicanangkan kurang lebih dua dekade sebelumnya oleh Syed Mu­hammad Naquib al-Attas, maka kajian mengenai substansi Islamisasi ilmu penge­tahuan kontemporer akan lebih jelas jika merujuk kepada konsep-konsepnya. Selain itu, konsep-konsep yang diajukannya berdasarkan pernahaman yang mendalam terhadap pandangan hidup dan peradaban manusia Barat dan epistemologinya.
  1. Syed Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern­sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problema­tis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghi­langkan maksud dan tujuan ilmu.Sekalipun, peradaban Barat modern meng­hasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebab­kan kerusakan dalam kehidupan manusia.Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah basil dan kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat kera­guan dan dugaan ke tahap metodologi ‘il­miah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keil­muan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan keper­cayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spe­kulasi filosofis yang terkait dengan kehidu­pan sekular yang memusatkan manusia se­bagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan mor­al, yang diatur oleb rasio manusia, terus menerus berubah.
Karena ilmu pengetahuan dalam bu­daya dan peradaban Barat itujustru meng­hasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa di­jadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup se­suatu kebudayaan.Sebabnya, ilmu bukan be­bas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).
Memang antara Islam dengan filsafat dan sains modern, sebagaimana yang disadari oleh Syed Muhammad Naquib al­Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatu­an cara mengetahui secara nalar dan em­pins, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) men­genai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.
Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebe­naran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusja dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Real itas dan kebenaran dimaknaj berdasar­kan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.
Jadi, pandangan-hidup Islam mencalc­up dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalain kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansj yang terakhir dan final.
Pandangan hidup Islam tidak ber­dasarkan kepada metode dikotomis sep­erti obyektif dan subyektif, historis dan normatjf. Namun, realitas dan kebenaran dipahamj dengan metode yang menyatu­kan (tawbid). Pandanganhjdup Islam ber­sumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya ibadahnya, doktrinya serta sistem teolog­inya telah ada dalam wahyu dan dijelas­kan oleh Nabi.
Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkenibangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma‘lum min al-din bi al-darürah). Pandanganhidup Islam terdiri dan berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pen­ciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan.Konsep-konsep tersebut yang menen­tukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan Pandanganhjdup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.
Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah aga­ma yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bu­kan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memuliki pandanganhjdup mutlaknya sendiri, merangkumj persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam se­mesta dli. Islam memuliki penafsjran on­tologis, kosmologis dan psikologus tersendini terhadap hakikat. Islam meno­lak ide dekonseknasj nilai karena merelat­ifkan semua sistem akhlak.
memasukkan unsur-unsur Islam be­serta konsep.konsep kunci dalam setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevant.Jika kedua proses tersebut selesai di­lakukan, maka Islamisasi akan membebas­kan manusia dan magik, mitologi, animis­me, tradisi budaya nasional yang berten­tangan dengan Islam, dan kemudian dan kontrol sekular kepada akal dan bahasan­ya.Islamisasi akan membebaskan akal manusia dan keraguan (sbakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (miro/) menuju keyakmnan akan kebenaran mefi­genai realitas spiritual, intelligible dan ma­ten.42 Islamisasi akan mengeluarkan penal­siran-penafsiran ilmu pengetahuan kon­temporer dan ideologi, makna dan ungkapan sekular.
  1. KRIFIK TERHADAP ISLAMISASI ILMU
Menurut Faziur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan kare­na tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan, Bagi Faziur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertang­gung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika rnemperolehnya..
Syed Muhammad Naquib al-Attas mene­gaskan ilmu pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar terkait dengan aspek­aspek ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.
Kritik terhadap Is­lamisasi ilmu penge­tahuan juga diajukan Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan, Is­lamisasi ilmu penge­tahuan tidak logis atau tidak mungkin (the inipos­sibility or illogicality of Is­lamization of knowledge). Alasannya, Realitas bu­kan Islami atau bukan pula tidak Islami. Kebe­naran untuk hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Isla­mi. Oleh sebab itu, Sains sebagai proposi­si yang benar, bukan Is­lami atau bukan pula tidak Islami.
Namun, pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islam­isasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia rnaju, maka gagasan Is­lamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pàndangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain berbeda. Islamisasi bukan saja mengkri­tik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransforinasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandan­gan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadi­kan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.
Sekalipun istilah Islamisasi adalah baru, namun konsep yang terkandung di dalam kata tersebut bukanlah baru. Al­Qur’an, misalnya telah mengislamkan sejumlah kosa-kata Arab yang digunakan pada saat itu. Al-Qur’än mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang­bidang semantik dan kosa kata. Khususn­ya istilah-istilah dan konsep-konsep kun­ci, yang digunakan untuk memproyeksi­kan hal-hal yang bukan dan pandangan hidup Islam.
Pada “zaman pertengahan,” Islamis­asi telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fa­khruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yu­nani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dan filsafat Yunani kuno yang diteri­ma dan ada juga yang ditolak.Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu kontemporer yang diformulasikan Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu “revolusi epistemologis” yang meru­pakan merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat
  1. PANDANGAN ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak dan interaksi yang intensif pada beberapa kasus, bahkan berupa benturan fisik  antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemoderenan” serta modernisme, westernisasi atau pembaratan, dan sekularisme menjadi objek utama perhatian para pemikir muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan untuk menanggapi fenomena tersebut..
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan tersebut melahirkan sebuah diskursus pemikiran antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat Islami. Dapat juga merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap Islami, dengan menolak sebagian lain. Tidak  bisa dipungkiri,  usaha Islamisasi berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan sebuah filsafat ilmu pengetahuan Islam, pada  akhirnya adalah upaya untuk  merekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam             Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat. Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Utsmani menjadi Pasya pada tahun 1805, dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan Islamisasi Ilmui pengetahuan Setidaknya sejak 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamization of knowledge (Islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya cukup beragam (kelompok) pemikir muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-beda, bahkan tidak jarang terdapat pertentangan pendapat. Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat dalam kaitanya dengan penggunaan kata ilmu pengetahuan atau sains, Islamisasi, Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah dipaparkan di atas, sebetulnya hal ini telah dimulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tidak efektifnya usaha mengejar ketertinggalan muslim dari Barat di masa lalu, pada perkembanganya hal tersebut mengkerucut dan mengkristal menjadi gerakan dengan orientasi baru pada beberapa kelompok.
Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tidak terkecuali umat Islam. Sebagai akibat dari fenomena itu, sebagian ilmuwan muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut Islamisasi ilmu pengetahuan atau pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam atau Islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu pengetahuan.
Jelas bahwa ilmu pengetahuan Islam adalah sebuah istilah modern. Kita tak bisa menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam masa yang disebut Zaman Keemasan Islam. Bahkan, bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an, misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika dengan dukungan penguasa, para ilmuwan muslim (dan sebagian kecilnya adalah non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya “Islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi Yunani itu. Ia juga menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena Islamisasi dibandingkan dengan, misalnya, metafisika.
Jadi, di sini istilah Islami digunakan untuk menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah, sebagaimana istilah modern, abad pertengahan, klasik atau Yunani digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai Islam. Kedua makna ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu pengetahuan modern dalam islam

PENUTUP
            Dalam Islam, Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Enstein mengatakan bahwa “Science without Religion is blind, and Religion without science is lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan islam, ilmu agama dan umum sama-sama berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan Al-qur’an merupakan sumber dan rujukan utama ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama. Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah memahami prinsip-prinsip Al-quran. Kata “Islamisasi” dalam makalah ini dapat dipahami dengan beberapa catatan. Pertama, unsur Islam dalam islamisasi tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara harfiah dalam Al-qur’an dan hadits. Tetapi sebaiknya dilihat dari segi spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran fundamental islam. Seperti kepercayaan kepada yang gaib, malaikat, Tuhan dan juga wahyu. Adapun rujukannya disamping Al-quran dan hadits bisa saja berasal dari sumber yang bermacam-macam, seperti Yunani, Persia, India, pada masa lalu bahkan Barat pada masa sekarang. Kedua, Islamisasi tidak semata-mata berupa pembelaan sains dengan ayat Al-quran atau hadits yang dipandang cocok dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level Epistemologi. Terakhir, Islamisasi didasarkan pada pada asumsi bahwa ilmu tidak pernah sama sekali terbebas dari nilai. Dalam menatap era globalisasi, ada beberapa model islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangakan, diantaranya: model purifikasi, model modernisasi islam, dan model neo-modernisme

DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadhi, 2003, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan Media Utama, Bandung.
Bahtiar, Amsal, 2005, Filsafat Ilmu, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Nata, Abuddin, dkk, 2003, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, UIN Jakarta Press, Jakarta.

Minggu, 23 Desember 2012

sejarah bahasa indonesia

Bahasa Indonesia























Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia[1] dan bahasa persatuan bangsa Indonesia.[2] Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja. Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu.[3] Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)[4] dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.[5] Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[6] Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[7] sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[8] Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.[9]


Masa lalu sebagai bahasa Melayu
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman

Bahasa Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."[15]
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[16]

Peristiwa-peristiwa penting

  • Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
  • Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
  • Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
  • Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
  • Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
  • Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
  • Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
  • Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
  • Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
  • Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

Penyempurnaan ejaan

Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:

Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
  1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
  2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
  3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
  4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.

Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
  1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
  2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
  3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
  4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972)
Malaysia
(pra-1972)
Sejak 1972
tj ch c
dj j j
ch kh kh
nj ny ny
sj sh sy
j y y
oe* u u
Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah digantikan dengan "u".

Daftar kata serapan dalam bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap kata-kata dari bahasa lain.
Asal Bahasa Jumlah Kata
Belanda 3.280 kata
Inggris 1.610 kata
Arab 1.495 kata
Sanskerta-Jawa Kuno 677 kata
Tionghoa 290 kata
Portugis 131 kata
Tamil 83 kata
Parsi 63 kata
Hindi 7 kata
Sumber: Buku berjudul "Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).
Adapun jumlah kata-kata yang diserap dari bahasa Nusantara dalam KBBI Edisi Keempat ditunjukkan di dalam daftar berikut:[18]
Asal bahasa Jumlah kata
Jawa 1109 kata
Minangkabau 929 kata
Sunda 223 kata
Madura 221 kata
Bali 153 kata
Aceh 112 kata
Banjar 100 kata

Penggolongan

Indonesia termasuk anggota dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa Melayu-Polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue, bahasa Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan di timur laut Sumatra

Distribusi geografis

Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area perkotaan (seperti di Jakarta dengan dialek Betawi serta logat Betawi).
Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek dan logat di daerah bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.

Kedudukan resmi

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:
  1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
  2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
  1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
  2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Fonologi

Bahasa Indonesia mempunyai 26 fonem yaitu 21 huruf mati dan 5 huruf hidup. Di samping itu sistem tata bahasanya sederhana, di mana:
Vokal

Depan Madya Belakang
Tertutup
Tengah e ə o
Hampir Terbuka (ɛ)
(ɔ)
Terbuka a

Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Namun, di dalam suku kata tertutup seperti air kedua vokal tidak diucapkan sebagai diftong
Konsonan

Bibir Gigi Langit2
keras
Langit2
lunak
Celah
suara
Sengau m n ɲ ŋ  
Letup p b t d c ɟ k g ʔ
Desis (f) s (z) (ç) (x) h
Getar/Sisi   l r      
Hampiran w   j    
  • Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda kurung adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
  • /k/, /p/, dan /t/ tidak diaspirasikan
  • /t/ dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa Inggris.
  • /k/ pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara
  • Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Namun apabila suku kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.

Sistem Penulisan

Huruf besar Huruf kecil IPA Huruf besar Huruf kecil IPA
A a /ɑː/ N n /n/
B b /b/ O o /ɔ, o/
C c /tʃ/ P p /p/
D d /d/ Q q /q/
E e /e, ɛ/ R r /r/
F f /f/ S s /s/
G g /ɡ/ T t /t/
H h /h/ U u /u/
I i /i/ V v /v, ʋ/
J j /dʒ/ W w /w/
K k /k/ X x /ks/
L l /l/ Y y /j/
M m /m/ Z z /z/

Tata bahasa

Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata bergender. Sebagai contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.
Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami" dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar yaitu Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau "belum".
Dengan tata bahasa yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali belajar bahasa Indonesia.

Awalan, akhiran, dan sisipan

Bahasa Indonesia mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari bahasa-bahasa Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.
Awalan Fungsi (pembentuk) Perubahan bentuk Kaitan
ber- verba be-; bel- per-
ter- verba; adjektiva te-; tel- ke-
meng- verba (aktif) me-; men-; mem-; meny- di-; pe-; ku-; kau;
di- verba (pasif)
meng-
ke- nomina; numeralia; verba (percakapan)
ter-
per- verba; nomina pe-; pel- ber-
peng- nomina pe-; pen-; pem-; peny- meng-
se- klitika; adverbia

ku-, kau- verba (aktif)
me-

Dialek dan ragam bahasa

Lihat pula: Varian-varian bahasa Melayu
Pada keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.
Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:
  1. Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
  2. Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
  3. Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
  4. Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.
Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:
  1. ragam undang-undang
  2. ragam jurnalistik
  3. ragam ilmiah
  4. ragam sastra
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:
  1. ragam lisan, terdiri dari:
    1. ragam percakapan
    2. ragam pidato
    3. ragam kuliah
    4. ragam panggung
  2. ragam tulis, terdiri dari:
    1. ragam teknis
    2. ragam undang-undang
    3. ragam catatan
    4. ragam surat-menyurat
Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:
  1. komunikasi resmi
  2. wacana teknis
  3. pembicaraan di depan khalayak ramai
  4. pembicaraan dengan orang yang dihormati
Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Pasal 36 Undang-Undang Dasar RI 1945
  2. ^ Butir ketiga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928
  3. ^ Kridalaksana H. 1991. Pendekatan tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Dalam Kridalaksana H. (penyunting). Masa Lampau bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
  4. ^ Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I 1939 di Solo: "jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe' akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat diseloeroeh Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia", dikutip di Pendahuluan KBBI cetakan ketiga.
  5. ^ Asmadi T.D. Arti Tanggal 2 Mei bagi Bahasa Indonesia. Laman Lembaga Pers Dr. Sutomo. Edisi 08 Februari 2010. diakses 5 Maret 2010.
  6. ^ Depdiknas Terbitkan Peta Bahasa Blog BahasaKita 4 Maret 2009, mirror dari berita AntaraOnline edisi 22 Oktober 2008.
  7. ^ http://www.ohio.edu/LINGUISTICS/indonesian/index.html Why Indonesian is important to learn. Situs pengajaran bahasa Indonesia di Ohio State University.
  8. ^ Farber, Barry. J. How to learn any language quickly, enjoyably and on your own. Citadel Press. 1991.
  9. ^ Eliot, J., Bickersteth, J. Sumatra Handbook. Footprint. 2000.
  10. ^ Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa
  11. ^ Keping Tembaga Laguna (900 M) yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berbahasa Melayu Kuna, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
  12. ^ a b (Inggris)Best of The Best (Crème de la Crème)
  13. ^ Hal ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari etnis Tionghoa.
  14. ^ Balai Pustaka, Berbenah Setelah Satu Abad. Kompas daring, 25 November 2009.
  15. ^ [1]
  16. ^ Teeuw, A (1986). Modern Indonesian Literature I.
  17. ^ Etek, Azizah (2008). Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927 - 1939.
  18. ^ Kontribusi Kosakata Bahasa Daerah dalam Bahasa Indonesia artikel oleh Adi Budiwidiyanto di situs Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses 3 November 2012