TUGAS
AKHIR SEMESTER
PERBAIKAN
MAKALAH HADITS PENDIDIKAN
KONSEP
TARBIYAH, TA’LIM, TADRIS DAN TA’DIB DALAM HADITS
Oleh:
Rahmadawati
Semester:
IV B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN SAMBAS
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat
strategis dalam membangun sebuah peradaban, khususnya peradaban yang Islami.
Bahkan, ayat pertama[1]
diturunkan oleh Allah sangat berhubungan dengan pendidikan. Keberbagaian konsep
dalam pendidikan Islam turut dilihat sebagai faktor utama dalam melahirkan manusia
yang bertakwa dan mengabdikan diri kepada Allah swt. Konsep tersebut menjadi
penggerak utama dalam mencapai matlamat pendidikan iaitu membentuk manusia yang
mempunyai cita-cita dan falsafah hidup yang tersendiri yang berperanan sebagai
hamba dan khalifah Allah di muka bumi ini, sekaligus mewujudkan masyarakat yang
progresif dan bertamadun seperti yang digariskan oleh Islam.[2]
Namun, konsep atau teori pendidikan
mengalami sebuah perdebatan hangat bagi para pakar atau ilmuwan. Peran
pendidikan yang semakin disadari pentingnya dalam melahirkan sebuah generasi
tidaklah cukup tanpa disertai oleh konsep yang benar. Apabila kita menerima
teori ilmiah empiris sebagai sebuah paradigma dalam teori pendidikan, maka
disadari atau tidak berarti kita telah meninggalkan hal-hal yang bersifat
metafisis dalam Al-Qur’an dan Hadits.[3] Metode
ilmiah dalam membangun sebuah teori harus dapat diamati oleh panca indera.
Sebuah teori yang belum bisa dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan
dasar dalam menyusun sebuah teori termasuk didalamnya teori pendidikan.
Padahal, Al-Qur’an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad saw, dari masa ke masa
selalu berkembang pembuktian terhadap mukjizat Ilmiahnya, mulai dari masa
lampau sampai masa yang akan datang. Menyesuaikan dengan kemampuan manusia
dalam membaca mukjizat tersebut.[4] Allah
swt berfirman:
وَمَا
مِن دَآبَّةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَطاَئِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلآَّ أُمَمٌ
أَمْثَالُكُم مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ
يُحْشَرُونَ
Artinya: “Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
apakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Rabblah mereka
dihimpunkan.”[5]
Ditegaskan juga dalam ayat lain:
وَيَوْمَ
نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ
شَهِيدًا عَلَى هَآؤُلاَءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ
شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Artinya:
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammmad)
menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang berserah diri.”[6]
Untuk itu menjadi hal yang sangat
penting dan mendasar bagi para muslim untuk memahami konsep pendidikan menurut
Al-Qur’an dan Hadits. Konsep dasar yang perlu untuk dikaji berawal dari
definisi atau pengertian pendidikan yang disandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Ada empat konsep dasar pendidikan Islam dalam
perspektif hadits yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan tadris yang
akan dibahas selanjutnya.
B. Teks Hadits
1. Hadits tentang Tarbiyah
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْأَعْلَى
بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى
فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ
قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ
لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ
قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو
أَحْمَدَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ زَنْجُويَةَ الْقُشَيْرِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ
بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku 'Abdul A'laa bin Hammad; Telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, "Pada suatu ketika ada seorang lelaki yang
mengunjungi saudaranya di desa lain. Kemudian Allah pun mengutus seorang
malaikat untuk menemui orang tersebut. Ketika orang itu ditengah perjalanannya
ke desa yang dituju, maka malaikat tersebut bertanya; 'Hendak pergi ke mana
kamu? ' Orang itu menjawab; 'Saya akan menjenguk saudara saya yang berada di
desa lain.' Malaikat itu terus bertanya kepadanya; 'Apakah kamu mempunyai satu
perkara yang menguntungkan dengannya? ' Laki-laki itu menjawab; 'Tidak, saya
hanya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla.' Akhirnya malaikat itu berkata;
'Sesungguhnya aku ini adalah malaikat utusan yang diutus untuk memberitahukan
kepadamu bahwasanya Allah akan senantiasa mencintaimu sebagaimana kamu
mencintai saudaramu karena Allah.' Berkata Syaikh Abu Ahmad; Telah mengabarkan
kepadaku Abu Bakr Muhammad bin Zanjuyah Al Qusyairi; Telah menceritakan kepada
kami 'Abdul A'laa bin Hammad; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah
melalui jalur ini dengan Hadits yang serupa.[7]
2. Hadits tentang Ta’lim
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ
مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَتَقَارَبَا فِي
لَفْظِ الْحَدِيثِ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَجَّاجٍ
الصَّوَّافِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ
بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ
الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ
فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا
يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ
يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ
وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا
ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا
شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ
وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ
وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ
الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ
ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدَّنَّهُمْ قَالَ ابْنُ
الصَّبَّاحِ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ قَالَ قُلْتُ وَمِنَّا رِجَالٌ يَخُطُّونَ قَالَ
كَانَ نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ يَخُطُّ فَمَنْ وَافَقَ خَطَّهُ فَذَاكَ قَالَ
وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ
فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا
وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّي صَكَكْتُهَا
صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ
ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا قَالَ ائْتِنِي
بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ
قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا
مُؤْمِنَةٌ
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ
يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin ash-Shabbah dan Abu
Bakar bin Abi Syaibah dan keduanya berdekatan dalam lafazh hadits tersebut,
keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj
ash-Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir dari Hilal bin Abi Maimunah dari 'Atha'
bin Yasar dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dia berkata, "Ketika aku
sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam, tiba-tiba
ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan,
'Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) '. Maka seluruh jamaah
menujukan pandangannya kepadaku." Aku berkata, "Aduh, celakalah
ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku?" Mereka bahkan menepukkan tangan
mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam.
Tetapi aku telah diam. Tatkala Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam selesai
shalat, Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum
pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik
pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak
memukul dan tidak memakiku. Beliau bersabda, 'Sesungguhnya shalat ini, tidak
pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih,
takbir dan membaca al-Qur'an.' -Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam,
"Saya berkata, 'Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku dekat dengan
masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di
antara kita ada beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.' Beliau bersabda,
'Janganlah kamu mendatangi mereka.' Dia berkata, 'Dan di antara kita ada
beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).' Beliau bersabda, 'Itu
adalah rasa waswas yang mereka dapatkan dalam dada mereka yang seringkali
menghalangi mereka (untuk melakukan sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi
mereka. -Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi, 'Maka jangan menghalangi
kalian-." Dia berkata, "Aku berkata, 'Di antara kami adalah beberapa
orang yang menuliskan garis hidup.' Beliau menjawab, 'Dahulu salah seorang nabi
menuliskan garis hidup, maka barangsiapa yang bersesuaian garis hidupnya, maka
itulah (yang tepat, maksudnya seorang nabi boleh menggambarkan masa yang akan
datang, pent) '." Dia berkata lagi, "Dahulu saya mempunyai budak
wanita yang menggembala kambing di depan gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada
suatu hari aku memeriksanya, ternyata seekor serigala telah membawa seekor
kambing dari gembalaannya. Aku adalah laki-laki biasa dari keturunan bani Adam
yang bisa marah sebagaimana mereka juga bisa marah. Tetapi aku menamparnya
sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau
anggap tamparan itu adalah masalah besar. Aku berkata, "(Untuk menebus
kesalahanku), tidakkah lebih baik aku memerdekakannya?' Beliau bersabda,
'Bawalah dia kepadaku.' Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau
bertanya, 'Di manakah Allah? ' Budak itu menjawab, 'Di langit.' Beliau
bertanya, 'Siapakah aku?' Dia menjawab, 'Kamu adalah utusan Allah.' Beliau bersabda,
'Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah'." Telah menceritakan
kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus telah
menceritakan kepada kami al-Auza'i dari Yahya bin Abi Katsir dengan isnad ini
hadits semisalnya.[8]
3. Hadits tentang Tadris
حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ
الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَةَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ
نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ الْيَهُودَ جَاءُوا
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ مِنْهُمْ
وَامْرَأَةٍ قَدْ زَنَيَا فَقَالَ لَهُمْ كَيْفَ تَفْعَلُونَ بِمَنْ زَنَى
مِنْكُمْ قَالُوا نُحَمِّمُهُمَا وَنَضْرِبُهُمَا فَقَالَ لَا تَجِدُونَ فِي
التَّوْرَاةِ الرَّجْمَ فَقَالُوا لَا نَجِدُ فِيهَا شَيْئًا فَقَالَ لَهُمْ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ كَذَبْتُمْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ فَوَضَعَ مِدْرَاسُهَا الَّذِي يُدَرِّسُهَا مِنْهُمْ كَفَّهُ
عَلَى آيَةِ الرَّجْمِ فَطَفِقَ يَقْرَأُ مَا دُونَ يَدِهِ وَمَا وَرَاءَهَا وَلَا
يَقْرَأُ آيَةَ الرَّجْمِ فَنَزَعَ يَدَهُ عَنْ آيَةِ الرَّجْمِ فَقَالَ مَا
هَذِهِ فَلَمَّا رَأَوْا ذَلِكَ قَالُوا هِيَ آيَةُ الرَّجْمِ فَأَمَرَ بِهِمَا
فَرُجِمَا قَرِيبًا مِنْ حَيْثُ مَوْضِعُ الْجَنَائِزِ عِنْدَ الْمَسْجِدِ
فَرَأَيْتُ صَاحِبَهَا يَحْنِي عَلَيْهَا يَقِيهَا الْحِجَارَةَ
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Mundzir Telah menceritakan kepada
kami Abu Dlamrah; Telah menceritakan kepada kami Musa bin 'Uqbah dari Nafi'
dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu bahwa orang-orang Yahudi menemui
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan membawa seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang telah berzina. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya
kepada mereka: 'Apa yang kalian lakukan kepada orang yang berzina? ' Mereka
menjawab; 'Kami mencoret-coret wajah keduanya dengan warna hitam dan
memukulnya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Apakah kalian tidak
menemukan hukuman rajam di dalam Taurat? Mereka menjawab; 'Kami tidak
mendapatkannya sedikit pun. Maka Abdullah bin Salam berkata kepada mereka;
'Kalian telah berdusta, datangkanlah Taurat kalian dan bacalah jika kalian
orang-orang yang jujur.' Maka mereka pun meletakan kitab yang mereka pelajari
dan di antara mereka ada yang menutupinya dengan tangan pada ayat rajam, dengan
cepat dia membaca apa yang ada disamping kanan kirinya tanpa membaca ayat
rajam. Abdullah Salam pun segera menyingkirkan tangannya, seraya berkata; 'Apa
ini? ' Tatkala mereka melihat hal itu, mereka menjawab; 'ini adalah ayat
rajam.' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh untuk merajam
keduanya di dekat kuburan samping masjid. Kata Abdullah; 'Aku melihat lelakinya
melindungi dan menutupi wanitanya dari lemparan batu dengan cara membungkukkan
badannya.[9]
4. Hadits tentang Ta’dib
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ صَالِحٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي
بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ جَارِيَةٌ فَأَدَّبَهَا
فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا وَأَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أَجْرَانِ
وَأَيُّمَا عَبْدٍ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ فَلَهُ أَجْرَانِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada
kami Sufyan dari Shalih dari Asy-Sya'biy dari Abu Burdah dari Abu Musa Al
Asy'ariy radliallahu 'anhu berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Siapa saja dari seseorang yang memiliki seorang budak wanita lalu mendididiknya
dengan sebaik-baik pendidikan, kemudian dibebaskannya lalu dinikahinya maka
baginya mendapat dua pahala, dan siapa saja dari seorang hamba yang menunaikan
hak Allah dan hak tuannya maka baginya mendapat dua pahala.[10]
C. Mufradat
Menguntungkan dengannya
|
تَرُبُّهَا
|
Seorang pendidik
|
مُعَلِّمًا
|
Yang lebih baik pengajarannya
|
أَحْسَنَ
تَعْلِيْمًا
|
Mereka pelajari
|
مِدْرَاسُهَا
|
Yang menutupinya
|
يُدَرِّسُهَا
|
Mendidiknya
|
فَأَدَّبَهَا
|
Sebaik-baik pendidikan
|
فَأَحْسَنَ
تَأْدِيْبَهَا
|
D. Takhrij Hadits
Setelah memaparkan teks hadits, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan takhrij hadits. Berdasarkan
hasil penelitian dari beberapa kitab hadits, dapat diketahui bahwa dalam Shahih
Muslim, ditemukan satu jalur periwayatan hadits tentang tarbiyah. Sedangkan
hadits tentang ta’lim ditemukan sedikitnya tiga jalur periwayatan. Dalam Shahih
Bukhari, ditemukan satu jalur periwayatan hadits tentang tadris dan ta’dib.
Dari temuan di atas, selanjutnya penulis akan
membahas masing-masing hadits sesuai jalur periwayatannya.
Skema I
Jalur Periwayatan dalam Shahih Muslim
Berdasarkan skema di atas dan keterangan sanad
pada lampiran, dinyatakan bahwa hadits tentang tarbiyah yang telah diriwayatkan
oleh Muslim adalah hadits shahih, karena tidak ada sanad yang terputus atau
dinilai cacat oleh para ahli hadits, seperti Abu Hatim, Ibnu Hibban, Yahya bin
Ma’in, An Nasa’I, dan lainnya.
Untuk selanjutnya, hadits tentang ta’lim akan
dibuatkan skema periwayatannya dalam Shahih Muslim.
Skema II
Jalur Periwayatan dalam Shahih Muslim
Berdasarkan skema di atas dan keterangan sanad
pada lampiran, dinyatakan bahwa hadits tentang ta’lim yang telah diriwayatkan
oleh Muslim adalah hadits shahih, karena tidak ada sanad yang terputus atau
dinilai cacat oleh para ahli hadits, seperti Ahmad
bin Hambal, Al
'Ajli, Abu
Hatim, Ibnu
Hibban, Ibnu
Hajar al 'Asqalani, dan lainnya.
Untuk selanjutnya, hadits tentang tadris akan
dibuatkan skema periwayatannya dalam Shahih Bukhari.
Skema III
Jalur Periwayatan dalam Shahih Bukhari
Berdasarkan skema di atas dan keterangan sanad
pada lampiran, dinyatakan bahwa hadits tentang ta’lim yang telah diriwayatkan
oleh Bukhari adalah hadits shahih, karena tidak ada sanad yang terputus atau
dinilai cacat oleh para ahli hadits, seperti Yahya bin
Ma'in, An
Nasa'i, Ad
Daruquthni, Ibnu
Hibban, dan lainnya.
Untuk selanjutnya, hadits tentang ta’dib akan
dibuatkan skema periwayatannya dalam Shahih Bukhari.
Skema IV
Jalur Periwayatan dalam Shahih Bukhari
Berdasarkan skema di atas dan keterangan sanad
pada lampiran, dinyatakan bahwa hadits tentang ta’lim yang telah diriwayatkan
oleh Bukhari adalah hadits shahih, karena tidak ada sanad yang terputus atau
dinilai cacat oleh para ahli hadits, seperti Yahya bin
Ma'in, Abu
Hatim, Ibnu
Hibban, Ibnu
Hajar al 'Asqalani, dan lainnya.
E. Biografi Periwayat Hadits
Nama
lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al-Ashbahi, dengan julukan Abu
Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H, Ia menyusun
kitab Al-Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40
tahun, selama waktu itu, ia menunjukkan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Kitab
tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al-Muwaththa’
lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda-beda dan seluruhnya
berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur
adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al-Laitsi al-Andalusi al-Mashmudi.[11]
Sejumlah
Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al-Kutub
as Sittah ditambah Al-Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan
Sunan ad Darimi sebagai ganti Al-Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab
besar ini, Ibn Hazm berkata, “Al-Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh
dan hadits, aku belum mengetahui bandingannya.”[12]
Hadits-hadits
yang terdapat dalam Al-Muwaththa’ tidak semuanya musnad, ada yang
mursal, mu’dlal dan munqathi’. Sebagian Ulama
menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits
mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa
penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “dari orang
kepercayaan”, tetapi hadits-hadits tersebut bersanad dari jalur-jalur lain yang
bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an-Namiri
menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal,
munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al-Muwaththa’ Malik.[13]
Imam
Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600
dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al-Mujmir,
Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az-Zuhry, Abi az-Ziyad, Sa’id al-Maqburi
dan Humaid ath-Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as-Sahmi al-Anshari.[14]
Adapun
yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua
darinya seperti az-Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti
al-Auza’i, Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan
Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy-Syafi’I, Ibnu
Wahb, Ibnu Mahdi, al-Qaththan dan Abi Ishaq.[15]
An-Nasa’I
berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur,
terpercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada
meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.[16]
Sedangkan
Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh
ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.[17]
F. Penjelasan Kandungan Hadits
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim nomor: 4656,
menjelaskan tentang seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya, dan Allah
mengutus seorang malaikat untuk menemui laki-laki tersebut.
Kata تَرُبُّهَا melihat
pengertian hadits di atas diartikan dengan “menguntungkan dengannya”,
yaitu pertanyaan malaikat Jibril AS kepada seorang laki-laki yang mengunjungi
saudaranya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim nomor: 836
menjelaskan tentang larangan berbicara dalam shalat dan seorang pendidik. Kata مُعْلِيْمًا pada hadits di
atas diartikan sebagai seorang pendidik. Adapun pendidik menurut Yayan Ridwan,
S.Pd.I.,M.Ag mengatakan:
Pendidik berarti juga orang dewasa
yang bertanggung jawab untuk member pertolongan pada peserta didiknya dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu
mandiri dalam memenuhi tugasnya sebai hamba dan khalifah Allah swt, dan
melakukan tugas sebagai makhluk individu yang mandiri.[18]
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidik
artinya orang yang mendidik.[19]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor: 4190,
dijelaskan (Bab keutamaan orang yang mendidik budak wanitanya). Kata “keutamaan”
tidak tercantum dalam riwayat Abu Dzar dan An-Nasafi. Namun An-Nasafi
member tambahan lain, yaitu “dan memerdekakannya”. Dalam bab ini,
Bukhari menyebutkan hadits Abu Musa secara ringkas. Adapun penjelasannya secara
detail akan disebutkan pada pembahasan tentang nikah.[20]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor: 2361,
dijelaskan (Bab “Katakanlah: bawalah Taurat dan bacalah jika kamu
orang-orang yang benar). Dalam bab ini disebutkan hadits Ibnu Umar tentang
kisah dua orang Yahudi yang berzina. Penjelasannya akan disebutkan pada pembahasan
tentang hudud (hukum-hukum yang telah dijelaskan dalam nash).[21]
Adapun kalimat pada riwayat ini, كَيْفَ تَفْعَلُوْنَ (bagaimana
yang kalian perbuat), dalam riwayat Al-Kasymihani disebutkan كَيْفَ
تَعْمَلُوْنَ (bagaimana
yang kamu kerjakan). Adapun kata nuhamminuha artinya kami
menyiram air panas kepada keduanya. Ada juga yang mengatakan; Kami menghitamkan
wajah keduanya. Penjelasan itu akan disebutkan ketika membahas hadits ini. Kata
midrâsuha (tokoh agama) menurut versi Al-Kasymihani. Adapun periwayat
selainnya menukil dengan lafazh midrâsuha (pengajarnya) berasl dari kata
dirâsah (pelajaran), namun versi pertama lebih tepat.[22]
G. Implikasi Hadits
1. Tarbiyah
Istilah
pendidikan bisa ditemukan dalam hadits dengan istilah tarbiyah, ta’lim, tadris,
dan tad’ib, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabbi’,
kata tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba, yang
mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama
Allah. Dalam hadits tidak ditemukan kata tarbiyah, tetapi ada istilah
yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani.
Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut
mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.[23]
Beberapa
ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kata-kata di atas. Sebagaimana
dikutip dari Ahmad Tafsir[24]
bahwa pendidikan merupakan arti dari kata tarbiyah kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu;
rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti
menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai
urusan, menuntun, menjaga, memelihara.
Dalam
literatur-literatur berbahasa Arab kata Tarbiyah mempunyai bermacam macam
definisi yang intinya sama mengacu pada proses pengembangan potensi yang
dianugrahkan pada manusia. Definisi-definisi itu antara lain sebagai berikut:
a. Tarbiyah
adalah proses pengembangan dan bimbingan jasad, akal dan jiwa yang dilakukan
secara berkelanjutan sehingga mutarabbi (anak didik) bisa dewasa dan mandiri
untuk hidup di tengah masyarakat.[25]
b. Tarbiyah
adalah kegiatan yang disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati,
perhatian bijak dan menyenangkan; tidak membosankan.[26]
c. Tarbiyah
adalah proses yang dilakukan dengan pengaturan yang bijak dan dilaksanakan
secara bertahap dari yang mudah kepada yang sulit.[27]
d. Tarbiyah
adalah mendidik anak melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yang mudah
diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[28]
e. Tarbiyah
adalah kegiatan yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan,
pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan
perasaan memiliki terhadap anak didik.[29]
Para
ahli memberikan definisi tarbiyah, bila diidentikkan dengan ‘arrab’
sebagai berikut;
1. Menurut al-Qurtubi,
bahwa; arti ar-rabb adalah
pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah, dan
yang maha menunaikan.[30]
2. Menurut Louis
al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah
dan mengumpulkan.[31]
3. Menurut Fahrur
Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-tarbiyah,
yang mempunyai arti at-tanwiyah yang berarti (pertumbuhan dan
perkembangan).[32]
4. Al-Jauhari
yang dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata tarbiyah dengan rabban
dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.[33]
Dari
pandangan beberapa pakar tafsir ini maka kata dasar ar-rabb, yang
mempunyai arti yang luas antara lain; memiliki, menguasai, mengatur,
memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.
Konsep tarbiyah merupakan salah satu konsep
pendidikan Islam yang penting. Kosakata yang ada dalam hadits baik dalam bentuk
fi’il maupun dalam bentuk isim. Kata-kata tersebut adalah sebagai berikut:
1. Rabba, yarbu, artinya tumbuh, bertambah, berkembang.[34]
2. Rabbi, yarba, artinya tumbuh menjadi lebih besar, menjadi
lebih dewasa.[35]
3. Rabba, yarubbu, artinya memperbaiki, mengatur, mengurus,
mendidik.[36]
Menurut
Al-Attas, secara semantik istilah tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan
konsep pendidikan dalam pengertian Islam, sebagaimana dipaparkan[37]:
1.
Istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan sebagaimana dipergunakan di
masa kini tidak bisa ditemukan dalam leksikon-leksikon bahasa Arab besar.
2. Tarbiyah dipandang sebagai pendidikan, dikembangkan dari
penggunaan Al Qur’an dengan istilah raba dan rabba yang berarti sama, tidak secara alami mengandung
unsur-unsur esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya
merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.
3. Jika
sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan dengan pengetahuan
disusupkan ke dalam konsep rabba, maka makna tersebut mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan
penanamannya.
2. Ta’lim
Perkataan
ta’lim
dipetik dari kata dasar ‘allama (عَلَّمَ),
yu‘allimu يُعَلِّمُ)) dan ta’lim (تَعْلِيْم). Yu‘allimu
diartikan dengan
mengajarkan, untuk itu istilah ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran (instruction). M. Thalib mengatakan bahwa ta’lim memiliki arti memberitahukan sesuatu kepada
seseorang yang belum tahu.[38]
Istilah Mu’allim atau pengajar yang berarti orang yang melakukan
pengajaran, juga di munculkan dalam hadith[39],
Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
اعملوا بطاعة الله واتقوا معاصى الله
ومروا اولادكم بامتثا الاوامر واجتناب النواهى فذالك
وقاية لهم ولكم من النّار
Artinya:
“Ajarkanlah mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada
Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan
menjauhi larangan-larangan. Karena itu akan memelihara mereka dan kamu dari api
neraka.”
Dalam hal
ini ungkapan (اعملو) diberikan kepada orang tua yang berlaku sebagai
mu’allim sedangkan pelajarnya (muta’allim) atau yang diajari adalah anak-anaknya. Juga sabda
beliau[40]:
خيركم من تعلّم القرأن و علّمه
Artinya:
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan
mengajarkannya.”
Dalam
hadith ini secara lengkap disebutkan ungkapan ta’alim (تعلّم),
sedangkan ilmu yang dipelajari adalah Al-Qur’an serta disebutkan pihak yang
mengajarkannya.
Ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif
semata-mata. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya
mengedepankan proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim). Ta’lim juga mewakili ungkapan proses dari tidak tahu
menjadi tahu.[41] Dari perkataan Sa’ad bin
Waqash, memberi makna anak-anak yang tidak tahu tentang riwayat Rasulullah,
diajarkan sehingga menjadi tahu.[42]
Namun,
istilah ta’lim dari beberapa ayat diatas menunjukkan bahwa ilmu yang bisa
untuk dialihkan meliputi semua ilmu termasuk diantaranya sihir. Sehingga memang
istilah tersebut lebih dekat pada pengajaran bukan pendidikan, karena
pendidikan dalam pengertian Islam tentu saja harus mengarah pada manusia yang
lebih baik, sesuai peran dan fungsinya didunia ini.
Apabila
pendidikan Islam diidentikkan dengan ta’lim, para ahli memberikan
pengertian sebagai berikut;
1. Abdul
Fattah Jalal, mendefinisikan ta’lim sebagai proses pemberian
pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah,
sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan
diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta
mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Ta’lim
menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam
hidup serta pedoman prilaku yang baik. Ta’lim merupakan proses yang
terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak
mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang
mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta
memanfaatkanya dalam kehidupan.[43]
2. Menurut Rasyid
Ridho, ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada
jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini
berpijak pada firman Allah yang berbunyi:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ
عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ هَؤُلآءِ إِن كُنتُم
صَادِقِينَ
Artinya : “Dan dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"[44]
Rasyid
Ridho memahami kata ‘allama’ Allah kepada Nabi Adam as, sebagai proses
tranmisi yang dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan
menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini
disimpulkan bahwa pengertian ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya
daripada istilah tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena ta’lim
mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan tarbiyah,
khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.[45]
3. Syed
Muhammad an-Naquib al-Attas, mengartikan ta’lim disinonimkan dengan
pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila ta’lim
disinonimkan dengan tarbiyah, ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat
segala sesuatu dalam sebuah sistem.[46]
Menurutnya ada hal yang membedakan antara tarbiyah dengan ta’lim, yaitu
ruang lingkup ta’lim lebih umum daripada tarbiyah, karena tarbiyah tidak
mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga tarbiyah
merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu
kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari
wahyu.
4. Menurut Muhammad
Athiyah al-Abrasy, pengertian ta’lim berbeda dengan pendapat diatas,
beliau mengatakan bahwa; ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan tarbiyah,
karena ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu
pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan tarbiyah mencakup keseluruhan
aspek-aspek pendidikan.[47]
3. Ta’dib
Menurut
Naquib al-Attas pengunaan ta’dib lebih cocok untuk digunakan dalam
pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. Ta’dib
berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada
manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan
penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan
kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya. Kata ‘addaba
yang juga berarti mendidik dan kata ta’dib
yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah
mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.[48]
Konsep ta’dib
yang digagas al-Attas adalah konsep pendidikan Islam yang bertujuan
menciptakan manusia beradab dalam arti yang komprehensif. Pengertian konsep ini
dibangun dari makna kata dasar adaba dan derivasinya. Makna addaba
dan derivasinya, bila maknanya dikaitkan satu sama lain, akan
menunjukkan pengertian pendidikan yang integratif.[49]
Di antara makna-makna tersebut adalah, kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi
pekerti. Makna ini identik dengan akhlak. Adab juga secara konsisten dikaitkan
dengan dunia sastra, yakni adab dijelaskan sebagai pengetahuan tentang hal-hal
yang indah yang mencegah dari kesalahan-kesalahan.[50]
Sehingga seorang sastrawan disebut adiib. Makna ini hampir sama
dengan definisi yang diberikan al-Jurjani, yakni ta’dib adalah proses
memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari untuk mencegah
pelajar dari bentuk kesalahan.[51]
Kata ta’dib
adalah mashdar dari addaba yang sebenarnya secara konsisten
bermakna mendidik. Berkenaan dengan hal itu, seorang guru yang
mengajarkan etika dan kepribadian tersebut disebut juga mu’addib.[52]
Setidaknya ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib,
muaddib. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan, keempat makna itu saling
terikat dan berkaitan. Seorang pendidik (muaddib), adalah orang
yang mengajarkan etika, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu (ma’rifah)
agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna
(insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi Rasulullah SAW.
Berdasarkan
hal itu, al-Attas mendefinisikan adab dari analisis semantiknya, yakni, adab
adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala
sesuatu yang ada terdiri dari hirearki yang sesuai dengan kategori-kategori dan
tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya
masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik,
intelektual dan spiritual.[53]
Dalam hal ini, al-Attas memberi makna adab secara lebih dalam dan komprehensif
yang berkaitan dengan objek-objek tertentu yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa,
sosial, alam dan Tuhan.[54]
Beradab, adalah menerapkan adab kepada masing-masing objek tersebut dengan
benar, sesuai aturan.
Pada
dasarnya, konsep adab al-Attas ini adalah memperlakukan objek-objek tersebut
sesuai dengan aturan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual
kepada Tuhan. Berkenaan dengan hal ini, maka adab juga dikaitkan dengan
syari’at dan Tauhid. Orang yang tidak beradab adalah orang yang tidak
menjalankan syari’at dan tidak beriman (dengan sempurna).[55]
Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang
menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak, memahami dan
menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya
meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia
yang beradab.[56]
Dari
uraian singkat tersebut, bisa dikatakan bahwa makna beradab secara sederhana
adalah, tidak berbuat dzalim. Maksudnya, orang beradab adalah orang yang
menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya
secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah)
yang salah. Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar
sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi)
mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dalam Primordial
Covenant[57]
dengan Allah SWT sebagai jiwa bertauhid. Apapun profesi manusia beradab, ikatan
janji itu selalu ia aplikasikan dalam setiap aktifitasnya.[58]
Oleh sebab itu, istilah yang paling tepat untuk pendidikan Islam menurut
al-Attas adalah ta’dib bukan tarbiyah atau ta’lim. Term tarbiyah
tidak menunjukkan kesesuaian makna, ia hanya menyinggung aspek fisikal dan
emosional manusia. Term tarbiyah juga diapakai untuk mengajari hewan. Sedangkan
ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan
kognitif. Akan tetapi ta’dib sudah menyangkut ta’lim (pengajaran)
di dalamnya.[59]
Singkatnya, konsep ta’dib mengandung makna yang lebih komprehensif dan
integratif daripada tarbiyah.
Konsep ta’dib
adalah konsep pendidikan Islam yang komprehensif, karena aspek-aspek ilmu
dan proses pencapainya mesti dicapai dengan pendekatana tawhidy dan
objek-objeknya diteropong dengan pandangan hidup Islami (worldview Islam).[60]
Pendekatan tawhidy adalah pendekatan yang tidak dikotomis[61]
dalam melihat realitas. Menurut al-Attas, pendidikan Islam bukanlah seperti
pelatihan yang akan menghasilkan spesialis. Melainkan proses yang akan
menghasilkan individu baik (insan adabi), yang akan menguasai pelbagai
bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan padandangan hidup
Islam.[62]
Dapat
disimpulkan, konsep ta’dib adalah konsep pendidikan yang bertujuan
menghasilkan individu beradab, yang mampu melihat segala persoalan dengan
teropong worldview Islam. Mengintegrasikan ilmu-ilmu sains dan humaniora
dangan ilmu syari’ah. Sehingga apapun profesi dan keahliannya, syar’iah dan worldview
Islam tetap merasuk dalam dirinya sebagai parameter utama. Individu-individu
yang demikian ini adalah manusia pembentuk peradaban Islam yang bermartabat.
Dalam tataran praktis, konsep ini memerlukan proses Islamisasi ilmu pengetahuan
terlebih dahulu. Karena, untuk mencapai tujuan utama konsep pendidikan ini,
ilmu-ilmu tidak hanya perlu diintegrasikan akan tetapi, ilmu yang berparadigma
sekuler harus diIslamkan basis filosofisnya.
4. Tadris
Tadris adalah upaya menyiapkan murid (mutadarris)
agar dapat membaca, mempelajari dan mengkaji sendiri, yang dilakukan dengan
cara mudarris membacakan, menyebutkan berulang-ulang dan bergiliran,
menjelaskan, mengungkap dan mendiskusikan makna yang terkandung di dalamnya sehingga
mutadarris mengetahui, mengingat, memahami, serta mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari dengan tujuan mencari ridla Allah (definisi secara luas
dan formal).[63]
Al-Juzairi
memaknai tadarrusu dengan membaca dan menjamin agar tidak lupa, berlatih
dan menjamin sesuatu.[64]
Makna
tadris (pengajaran bacaan secara berulang-ulang):[65]
1. Tadris adalah suatu bentuk
kegiaatan yang dilakukan oleh mudarris untuk membacakan dan menyebutkan
sesuatu kepada mutadarris (murid) dengan berulang-ulang dan sering.
2. Tadris bertujuan agar materi yang
dibacakan atau yang disampaikan itu mudah dihafal dan diingat. Ia merupakan
kegiatan pewarisan kepada murid dari para leluhurnya.
3. Kegiatan
dalam tadris tidak sekedar membacakan atau menyebutkan materi, tetapi
juga disertai dengan mempelajari, mengungkap, menjelaskan, dan mendiskusikan
isi dan maknanya.
4. Tadris adalah suatu upaya
menjadikan dan membelajarkan murid (mutadarris) supaya mau membaca,
mempalajari, dan mengkaji sendiri.
5. Dalam tadris,
seorang murid (mutadarris) diharapkan mengetahui dan memahami benar yang
disampaikan oleh mudarris (guru) serta dapat mengamalkannya di dalam
kehidupan sehari-hari.
6. Tadris dilakukan dengan niat
beribadah kepada Allah SWT dan mendapat ridla-Nya.
7. Kegiatan
belajar dalam tadris bisa berlangsung dengan cara saling bergantian atau
bergiliran, yaitu sebagian membacakan sebagian lainnya memperhatikan dengan
saling mengorerksi, membenarkan kesalahan lafal yang dibaca sehingga terhindar
dari kekeliruan dan lupa.
8. Tadris menunjukan kegiatan yang
terjadi pada diri manusia dalam arti yang umum.
Dalam
tadris tersirat adanya mudarris. Mudarris berasal dari kata
darasa-yadrusu-darsan-wadurusan-wadirasatan yang artinya terhapus, hilang
bekasnya, menghapus, melatih, dan mempelajari. Artinya guru adalah orang yang
berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau
memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai bakat
dan minatnya.[66]
Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan
intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya
secara berkelanjutan, dan berusa mencerdaskan peserta didiknya, memberantas
kebodohan mereka, serta melatih keterampilan, sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.[67]
Berdasarkan hal di atas, tugas-tugas guru atau pendidik sangatlah
berat, yang tidak hanya melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan
afektif dan psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat ditentukan oleh
seberapa banyak tugas yang telah dilakukan, sekalipun terkadang
profesionalismenya itu tidak berimplikasi yang signifikan terhadap penghargaan
yang diperolehnya.[68]
Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakan
bahwa pendidik merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya
akan memperoleh pancaran nur keilmiahannya (‘Atha). Dan andaikala dunia tidak
ada pendidik niscaya manusia seperti binatang sebab “Pendidik adalah upaya
mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah.”[69]
Peran dan tanggung jawab guru dalam proses pendidikan sangat
berat. Apalagi dalm konteks pendidikan Islam, dimana semua aspek kependidikan
Islam terkait dengan nilai-nilai (value bound), yang meliputi guru bukan
saja pada penguasaan material-pengetahuan, tetapi juga pada investasi
nilai-nilai moral dan spiritual yang diembannya untuk ditransformasikan kearah
pembentukan kepribadian anak didik. Sebagai komponen paling pokok dalam
pendidikan Islam, guru dituntut bagaimana membimbing, melatih, dan membiasakan
anak didik berperilaku yang baik. Karena itu, eksistensi guru tidak saja mengajarkan
tetapi sekaligus mempraktikkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kependidikan Islam.[70]
Analisis perbandingan antara konsep ta’lim’, ta’dib
tadris, dan tarbiyah
Istilah ta’lim’, ta’dib, tadris, dan tarbiyah
dapatlah diambil suatu analisa. Jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat
titik perbedaan antara satu dengan lainnya, namun apabila dilihat dari unsur
kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain, yakni
dalam hal memelihara dan mendidik anak.
Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampain ilmu
pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman
amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim di sini mencakup aspek-aspek
pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan
pedoman perilaku yang baik.
Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan
pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan
dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam
diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam
mendidik pribadi.
Adapun ta’dib, titik tekannya adalah pada penguasaan
ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan
tingkah laku yang baik.
Tadris, titik tekannya adalah upaya menyiapkan anak
didik tidak hanya sekedar dalam hal membaca, tetapi juga disertai dengan investasi
nilai-nilai moral dan spiritual yang diemban oleh guru untuk ditransformasikan
kearah pembentukan kepribadian anak didik,
mencerdaskan serta melatih keterampilan, sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.
H. Penutup
Dengan pemaparan keempat konsep di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa keempatnya mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan yaitu
menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”, sehingga mampu mengarungi
kehidupan ini baik sekarang maupun yang akan datang dengan baik.
Adapun mengenai kualitas hadits, berdasarkan hasil takhrij
hadits, dapat disimpulkan bahwa konsep tarbiyah, ta’lim, tadris dan
ta’dib dalam hadits adalah shahih, baik dari segi sanad dan
matannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’â
Al-Karîm.
Artikel Sejarah
Pendidikan Pada Zaman Rasulullah SAW, karya Anisa Bahyah bt. Haji Ahmad.
Abdullah, Abdurrahman Saleh, Educational
Theory a Quranic Outlook, Terj. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan
Al-Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007.
http://id.lidwa.com/app/. Diakses tanggal
15 April, 20 Mei 2012.
Ridwan, Yayan,
Ilmu Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Sedaun, 2011.
Kamus Besar
Bahasa Indonesia offline versi 1.3 Freeware Ó2010-2011 by Ebta Setiawan.
Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafidz, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari,
(Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah), Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Naquib al-Attas, Syed
Muhammad, Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan, 1988.
___________________________, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu
Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Mizan, 1987.
___________________________, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001.
___________________________, Prolegomena to
the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the
Worldview Islam, Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Bandung: Rosda Karya, 1992.
Ibnu Jaris
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad, Jami’u’l-bayan ‘an Ta’wil ayatil Quran,
Beirut: Darul Fikr, 1988.
Al-Maraghi,
Ahmad Musthafa, Tafsirul Maraghiy, juz.
III, Beirut: Darul Fikr, 1871.
_______________________, Tafsirul Maraghiy,
juz. V,
Beirut: Darul Fikr, 1871.
Rohimin, Titi
Saodah, Agus Salam, Hakikat Pendidikan. Makalah, tidak diterbitkan.
al-Qurtubi, Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad
al-Ansari, Tafsir al-Qurtubi, Cairo: Durusy, t.th.
Ma’luf, Louis, Al-Munjid fi Lughah,
Beirut: Dar al-Masyriq, 1960.
Razi, Fathur, Tafsir Fathur Razi, Teheran: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.
Zuhairini, Metodik pendidikan Islam, Malang: IAIN
Tarbiyah Sunan Ampel Press, 1950.
Mandzur, Ibnu,
Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Misriyah, t.th.
Thalib, M, Pendidikan Islam Metode 30 T, Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 1996.
Jalal, Abdul Fattah, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam,
Mesir: Darul Kutub Misriyah, 1977.
Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Mesir: Dar al-Manar,
1373 H.
M. Athiyah, Al-Abrasy,
At-Tarbiyah al-Islamiyah (Penerjemah: Bustami A.Goni dan Djohar Bakry)
Jakarta: Bulan Bintang. 1968.
Mustofa (dkk), Ibrahim, al-Mu’jam al-WasithI bab adab,
Istanbul: al-Maktaba al-Islamiyah, 1380 H/1960 M.
Badaruddin, Kemas, Filsafat Pendidikan: Analisis Pemikiran Syed
M.N. Al-Attas, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
al-Jurjani,
Syarif, Kitab Ta’rifaat, Beirut: Maktabah Lubnaniyah, 1995.
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA
Thn I No 6, Juli-September 2005.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed
Muhammad Naquib al-Attas (terj), Bandung: Mizan, 2003.
Asy’ari, Hasyim, Adabu al-Alim wa al-Muta’allim, Jombang:
Maktabah Turats Islamiy, 1415 H.
Setia, Adi, Special Feature on the Phylosophy of Science of Syed
Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Science Journal of Islamic
Perspektif on Science Vol I December 2003 No 2.
Guttenplan, Samuel, A Companion to the Philosophy of Mind,
Oxford: Blackwell, t.th.
http://akukepompong.wordpress.com/2011/12/30/pengertian-talim-tadib-tarbiyah-tadris-dan-tahdzib-talim/
Diakses tanggal 4 April 2012.
http://hanafianshory.blogspot.com/2011/04/studi-analisa-sepuluh-nasihat-lukman-al.html.
Diakses tanggal 5 Juli 2012.
Rusiadi, Metodologi
Pembelagaran Agama Islam, cet. II, Jakarta: Sedaun, 2012.
Muhammad
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’
Ulumuddin, Terjemah Ismail Ya’kub,
Faizan, cet. VI, Semarang: Mizan, 2000.
Imam Tholkhah
dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan
Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
LAMPIRAN
KETERANGAN SANAD
TENTANG
KONSEP TARBIYAH, TA’LIM, TADRIS DAN TA’DIB DALAM HADITS
Keterangan Sanad (1)
|
||
Nama
Lengkap
|
:
|
· Abdul A'laa bin Hammad bin Nashr
|
Kalangan
|
:
|
Tabi'ul
Atba' kalangan tua
|
Kuniyah
|
:
|
Abu Yahya
|
Negeri
semasa hidup
|
:
|
Bashrah
|
Wafat
|
:
|
237
H
|
Komentar
Yahya bin Ma'in
|
:
|
La ba`sa bih
|
Komentar
Abu Hatim
|
:
|
Tsiqah
|
Komentar
Ibnu Kharasy
|
:
|
Shaduuq
|
Komentar
An Nasa'i
|
:
|
Laisa bihi ba`s
|
Komentar
Ibnu Hibban
|
:
|
Disebutkan dalam ‘ats-tsiqat
|
Komentar
Ibnu Hajar al
'Asqalani
|
:
|
La ba`sa bih
|
Komentar
Adz Dzahabi
|
:
|
Muhaddits tsabat
|
Keterangan Sanad (2)
|
||
Nama
Lengkap
|
:
|
Amru bin Muhammad
bin Bukair bin Muhammad
|
Kalangan
|
:
|
Tabi'ul
Atba' kalangan tua
|
Kuniyah
|
:
|
Abu
'Utsman
|
Negeri
semasa hidup
|
:
|
Baghdad
|
Wafat
|
:
|
232
H
|
Komentar
Abu Hatim
|
:
|
Tsiqah
|
Komentar
Ibnu Hajar al 'Asqalani
|
:
|
Tsiqah Hafid wahm fi hadist
|
Komentar
Adz Dzahabi
|
:
|
Hafizh
|
Keterangan Sanad (3)
|
||
Nama
Lengkap
|
:
|
· Zuhair bin Harb bin Syaddad
|
Kalangan
|
:
|
Tabi'ul
Atba' kalangan tua
|
Kuniyah
|
:
|
Abu Khaitsamah
|
Negeri
semasa hidup
|
:
|
Baghdad
|
Wafat
|
:
|
234
H
|
Komentar
Yahya bin Ma'in
|
:
|
Tsiqah
|
Komentar
Abu Hatim
|
:
|
Shaduuq
|
Komentar
Ibnu Wadldlah
|
:
|
Tsiqah
|
Komentar
An Nasa'i
|
:
|
Tsiqah ma`mun
|
Komentar
Ibnu Hibban
|
:
|
Disebutkan dalam ‘ats-tsiqat
|
Komentar
Ibnu Hajar al
'Asqalani
|
:
|
Tsiqah Tsabat
|
Komentar
Adz Dzahabi
|
:
|
Al hafidz
|
Keterangan Sanad (4)
|
||
Nama
Lengkap
|
:
|
· Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsman
|
Kalangan
|
:
|
Tabi'ul
Atba' kalangan tua
|
Kuniyah
|
:
|
Abu Bakar
|
Negeri
semasa hidup
|
:
|
Kufah
|
Wafat
|
:
|
235
H
|
Komentar
Ahmad bin Hambal
|
:
|
Shaduuq
|
Komentar
Abu Hatim
|
:
|
Tsiqah
|
Keterangan Sanad (5)
|
||
Nama
Lengkap
|
:
|
· Ibrahim bin Al Mundzir bin 'Abdullah
|
Kalangan
|
:
|
Tabi'ul
Atba' kalangan tua
|
Kuniyah
|
:
|
Abu Ishaq
|
Negeri
semasa hidup
|
:
|
Madinah
|
Wafat
|
:
|
236
H
|
Komentar
Yahya bin Ma'in
|
:
|
Tsiqah
|
Komentar Ad Daruquthni
|
:
|
Tsiqah
|
Komentar
Ibnu Wadldlah
|
:
|
Tsiqah
|
Komentar
An Nasa'i
|
:
|
Laisa bihi ba`s
|
Komentar
Ibnu Hibban
|
:
|
Disebutkan dalam ‘ats-tsiqat
|
Komentar
Adz Dzahabi
|
:
|
Shaduuq
|
Keterangan Sanad (6)
|
||
Nama
Lengkap
|
:
|
· Muhammad bin Katsir
|
Kalangan
|
:
|
Tabi'ul
Atba' kalangan tua
|
Kuniyah
|
:
|
· Abu 'Abdullah
|
Negeri
semasa hidup
|
:
|
Bashrah
|
Wafat
|
:
|
223H
|
Komentar
Yahya bin Ma'in
|
:
|
Lam yakun bi tsiqah
|
Komentar
Abu Hatim
|
:
|
Shaduuq
|
Komentar
Ibnu Hibban
|
:
|
Disebutkan dalam ‘ats-tsiqat
|
Komentar
Ibnu Hajar al
'Asqalani
|
:
|
Tsiqah
|
[1]
QS. Al-Alaq: 1.
[2]
Artikel Sejarah Pendidikan Pada Zaman Rasulullah SAW karya Anisa Bahyah
bt. Haji Ahmad. Hal: 1.
[3] Abdurrahman
Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook, Terj. Teori-Teori
Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007. Hal: 21
[5]
QS. Al-An’am: 38.
[6]
QS. An-Nahl: 89.
[7] Hadits Shahih Muslim, nomor :
4656. Diakses secara online melalui situs http://id.lidwa.com/app/. tanggal 15 April 2012, 19.30.
[8] Ibid., nomor: 836.
[9] Hadits Shahih Bukhari, nomor: 4190. Diakses secara online
melalui situs http://id.lidwa.com/app/. tanggal 20 Mei 2012, 19.30.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Abdul
Karim bin Abi al-Mukharif al-Basri yang menetap di Makkah, karena tidak
senegeri dengan Malik, keadaannya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit
mentakhrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan.
[17] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/24/imam-malik-bin-anas/. Diakses secara online tanggal 3 Mei
2012.
[18] Yayan Ridwan, Ilmu
Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Sedaun, 2011. Hal: 61
[19]
Kamus Besar Bahasa Indonesia offline versi 1.3 Freeware Ó2010-2011 by Ebta
Setiawan.
[20] Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al
Asqalani, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Penerjemah: Gazirah
Abdi Ummah), Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Hal: 243.
[21]
Ibid., Hal: 251-252.
[22]
Ibid., Hal: 252.
[23] Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan,
1988. Hal: 12.
[25] Abu Ja’far Muhammad Ibnu
Jaris Ath-Thabari, Jami’u’l-bayan ‘an Ta’wil ayatil Quran, Beirut: Darul
Fikr, 1988. Hal: 67.
[26]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsirul Maraghiy, juz. V, Beirut: Darul Fikr, 1871. Hal:
34.
[27] Rohimin, Titi Saodah, Agus
Salam, Hakikat Pendidikan. Tidak diterbitkan. Hal: 4.
[28] Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar
Al Asqalani, Fathul Baari…. Hal: 162.
[29]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsirul Maraghiy, juz. III…. Hal: 97.
[30] Ibnu Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Cairo:
Durusy, t.th. Hal: 15.
[34]
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Misriyah, t.th. hal: 145.
[35]
Ibid.
[39]
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Darimi dari Abu Umamah Al Bahili r.a
كُـنَّا نُعَـلِّمُ أَوْلاَدَنَا
مَغـَازِىْ رَسُوْلِ اللهِ صَـلىَّ اللهُ عَلَيـْهِ وَسَـلَّمَ كَمَـا
نُعَلِّمُـهُمُ السُّـوْرَةَ مِـنَ الْقُـرْآنِ
[43]
Abdul Fattah
Jalal, Min
al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Darul Kutub Misriyah, 1977. Hal:
32.
[44]
QS. Al-Baqarah:
31.
[45]
Rasyid Ridho, Tafsir
al-Manar, Mesir: Dar al-Manar, 1373 H. Hal: 42.
[46]
Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Konsep Pendidikan....
Hal: 17.
[47]
Al-Abrasy M. Athiyah, At-Tarbiyah al-Islamiyah (Penerjemah: Bustami
A.Goni dan Djohar
Bakry) Jakarta: Bulan Bintang. 1968. Hal: 32.
[49] Pendidikan Integratif adalah pendidikan yang tidak berdasarkan
kepada metode dikotomis yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Al-Attas sepakat dengan al-Ghazali yang membagi ilmu secara hirarkies, yaitu
ilmu fardlu ‘ain (ilmu tentang rukun iman, rukun Islam, perbuatan haram,
dan ilmu yang berkaitan dengan amal yang akan dilakukan), dan ilmu fardlu
kifayah, yang termasuk di dalamnya ilmu syariah dan ilmu non-syariah atau
umum). Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam:
Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan,
1987. Hal: 90.
[50]
Kemas Badaruddin, Filsafat
Pendidikan: Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas, Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2009. Hal: 59.
[51] Syarif
al-Jurjani, Kitab Ta’rifaat, Beirut: Maktabah Lubnaniyah, 1995. Hal: 10.
[52] Istilah ta’dib
juga telah dipakai tokoh sufi sebagai sebuah istilah untuk pendidikan
pengembangan pribadi, akal dan moral. Lihat Jurnal Pemikiran dan Peradaban
Islam, ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005.
[53] Wan Mohd
Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas
(terj), Bandung: Mizan, 2003. Hal: 177.
[54]
Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001. Hal: 47.
[55]
Hasyim Asy’ari, Adabu
al-Alim wa al-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H. Hal: 11.
[56]
Wan Mohd Nor Wan Daud,
Filsafat Praktik……, Hal: 174.
[57]
QS. Al-A’râf: 172.
[58]
Filsafat sains al-Attas
secara sistematis berdasarkan pada ilmu tasawwuf dimana semua aktifitasnya
ditujukkan untuk pengabdian tinggi kepada Tuhan. Lihat Adi Setia, Special
Feature on the Phylosophy of Science of Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
Islam and Science Journal of Islamic Perspektif on Science Vol I December 2003
No 2. Hal: 172.
[59]
Wan Mohd Nor Wan Daud,
Filsafat Praktik……, Hal: 180.
[60] Islamic
worldview dalam pandangan al-Attas adalah pandangan Islam tentang realitas
dan kebenaran yang Nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat
wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka
worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil
wujud). Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the
Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview
Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995. Hal: 2.
[61]
Dikotomis adalah pendekatan
yang memisahkan objek saling berlawanan, misalnya antara jiwa dan raga tidak
ada kaitan. Pendekatan ini disebut juga dualisme pemikiran. Pemikiran filasafat
ini dipelopori tokoh-tokoh filasafat Barat seperti Pytagoras, Plato dan Rene
Descartes. Lihat Samuel Guttenplan, A Companion to the Philosophy of Mind,
Oxford: Blackwell, t.th. Hal: 5-7.
[62]
Wan Mohd Nor Wan Daud,
Filsafat Praktik……, Hal: 186.
[63] http://akukepompong.wordpress.com/2011/12/30/pengertian-talim-tadib-tarbiyah-tadris-dan-tahdzib-talim/ Diakses tanggal 4 April 2012. 20.00.
[65] http://hanafianshory.blogspot.com/2011/04/studi-analisa-sepuluh-nasihat-lukman-al.html. Diakses tanggal 5 Juli 2012. 19.30.
[66]
Rusiadi, Metodologi Pembelagaran Agama Islam, cet. II, Jakarta: Sedaun,
2012. Hal: 13.
[67]
Yayan Ridwan, Ilmu Pendidikan….. Hal: 65.
[68]
Ibid.
[69]
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, Terjemah Ismail Ya’kub,
Faizan, cet. VI, Semarang: Mizan, 2000. Hal: 65-70.
[70] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka
Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam,
cet. I, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Hal: 219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar