BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan
pendapat pada manusia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Demikian
juga yang terjadi dalam kenyataan kehidupan kaum muslimin, dimana sejarah
mencatat bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW. Setelah terbagi kepada
beberapa aliran dalam bidang Teologi yang semulanya hanya dilatar belakangi oleh
persoalan politik, seperti: Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
Maturidiyah.
Masing-masing
aliran berbeda pendapat dalam mengemukakan konsep mereka dalam bidang teologi,
di samping disebabkan karena memang munculnya perbedaan itu terkait langsung
dengan perbedaan kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga
disebabkan karena di antara dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an
maupun hadits Nabi memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam
memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan
interpretasi, khususnya dalam lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat Tuhan,
perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan Tuhan, kehendak mutlak Tuhan,
akal dan wahyu.
Adapun
materi yang akan kami bahas disini adalah kehendak mutlak Tuhan dan keadilan
Tuhan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kehendak
Mutlak Tuhan
Dalam
menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, Asy’ari menulis
dalam Al-Ibanah-nya bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas Tuhan
tidak ada lagi suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa
ada lagi suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang
boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan.[1]
Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Sebagaimana kata
al-Dawwaniy sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abduh, Tuhan adalah Maha Pemilik
(al-Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di
dalam kerajaan-Nya dan tidak seorangpun yang dapat mencela perbuatan-Nya.
Sungguhpun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak
baik dan tidak adil.[2]
Sejalan
dengan pernyataan di atas, al-Ghazali juga sama berpendapat bahwasanya Tuhan
dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukuman menurut
kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya
dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya.
Bagi
kaum Asy’ariyah, Tuhan sama sekali tidak terikat kepada apapun, tidak
terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.
Sementara menurut kaum Mu’tazilah, kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak
bersifat mutlak lagi. Sebab, kekuasaan Tuhan sudah dibatasi oleh kebebasan,
yang menurut Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan
kemauan dan perbuatannya. Selanjutnya kekuasaan mutlak Tuhan itu dibatasi pula
oleh keadilan-Nya. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah
terikat kepada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat tuhan
bersifat tidak adil. Bahkan zhalim. Sifat seperti ini tentu saja tidak bisa
diberikan kepada Tuhan.
Secara
jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya
tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh
kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukkum alam yang
menurut Al-Qur’an tidak pernah berubah.[3]
Adapun
kaum Muturidiyah Bukhara,
mereka menganut pendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak.[4]
Menurut al-Bazdawiy, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan
menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang
atau memaksa Tuhan, dan tidak larangan-larangan terhadap Tuhan.[5]
Akan tetapi walau bagaimanapun juga faham mereka tentang kekuasaan Tuhan
tidaklah semutlak faham Asy’ari.
Adapun
kaum Maturidiyah Samarkand, tidaklah sekeras Muturidiyah Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan
kekuasaan Tuhan, akan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan
yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan.
Batasan-batasan yang diberikan oleh kaum Maturidiyah Samarkand ini,
adalah:
1.
Kemerdekaan
dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia.
2.
Keadaan
Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, akan tetapi berdasarkan atas
kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam
dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
Keadaan
hukuman-hukuman Tuhan, sebagaimana kata al-Bayadhi, tidak boleh tidak mesti
terjadi. tidak ada suatu zatpun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah diatas
segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan
kemauan-Nya sendiri pula.
Abul A’la Maududi, dalam hal ini
menyatakan bahwa betapa banyak realitas kekuasaan Allah SWT, yang dapat
membuktikan bahwa hanya ada Satu Pencipta, Penguasa Alam Semesta dan Pengatur
Jagad Raya. Realitas ini memantulkan sifat-sifat Allah SWT. Kebijaksaan-Nya
yang Maha Agung, kekuasaan-Nya yang tanpa batas, dan kekuatan-Nya yang tiada
tara.[6]
Nawawi
al-Bantani, sebagai pengikut al-Asy’ari, menyatakan bahwa kekuasaan
Tuhan adalah mutlak dan tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada suatu benda
pun yang memiliki kekuatan dan efek terhadap lainnya, seperti makan tidak
menyebabkan kenyang. Jika dikatakan bahwa makan dapat menyebabkan kenyang,
karena Tuhan memberikan kekuatan atau sifat mengenyangkan, berarti Tuhan
membutuhkan selain-Nya sebagai perantara terwujudnya kenyang itu. Orang yang
menyatakan demikian dianggap fasiq dan bid‘ah,[7]
termasuk kelompok Mu’tazilah.[8]
Jika dikatakan bahwa, benda atau sesuatu itu menyebabkan timbulnya kekuatan
tertentu, maka yang menyatakan demikian disebutnya kafir secara ijma’.[9]
Menurutnya, yang paling selamat adalah menyatakan: “Bahwa kekuatan tertentu
benda-benda itu hanyalah merupakan sebab yang telah biasa terjadi”.[10]
Menurutnya,
kehendak Tuhan itu mutlak, menghendaki yang baik maupun yang jelek, namun tidak
memerintah dan tidak meridai yang jelek itu. Tuhan menghendaki imannya Abu
Bakar dan memerintahkannya, seperti juga menghendaki kekufuran Abu Jahal tanpa
memerintah dan meridai atas kekufurannya itu.[11]
Hal ini, sama dengan pendapat al-Bazdawi (Maturidiyah Bukhara), bahwa
kekuasaan Tuhan ada dua macam, yaitu yang diridai dan yang tidak diridai. Artinya
manusia melakukan perbuatan baik atau jelek atas kehendak Tuhan, tetapi tidak
selamanya diridai, Tuhan tidak suka perbuatan jahat.[12]
B. Keadilan
Tuhan
1. Faham
Mu’tazilah
Soal
keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang
diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan
diartikan memberikan orang akan haknya . Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti
bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk
dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak
dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi
upah kepada orang-orang yang patuh pada-Nya dan memberikan hukuman kepada
orang-orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengadukan
arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia.[13]
Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya.
2. Faham Asy’ariyah
Asy’ariyah menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai
tujuan dalam perbuatan-perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak
mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat
sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan
keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat
semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan
manusia atau tujuan lain. Dengan demikian adanya tendensi untuk meninjau dari
sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan kehendak dan pengetahuan
pemilik.
Dengan
demikian keadilan Tuhan mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya
berarti “Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak
terhadap hak milik orang”. Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah
dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut
pandangan manusia adalah tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa
Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.
Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan
karena di atas Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.[14]
Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil.
3. Faham Maturidiyah
Faham
Maturidiyah ini ada dua golongan, golongan Maturidiyah Bukhara dan
Maturidiyah Samarkand. Menurut Maturidiyah Bukhara ketidakadilan
Tuhan haruslah difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Menurut
Al-Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini.
Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat
bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk
kepentingan manusia.[15]
Menurut
Maturidiyah Samarkand, Tuhan adil bukan berarti bahwa segala
perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak
mengabaikankan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia, sebab Tuhan tidak akan
memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam
memberikan hukuman karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim.[16]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengenai
kehendak mutlak Tuhan, Asy’ariyah,
Tuhan sama sekali tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada
janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya. Menurut Mu’tazilah,
kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi, karena kekuasaan Tuhan
sudah dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan kepada manusia dalam
menentukan kemauan dan perbuatannya dan dibatasi oleh keadilan-Nya. Muturidiyah
Bukhara berpendapat bahwa
Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, sedangkan Maturidiyah Samarkand,
tidaklah sekeras Muturidiyah Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan
kekuasaan Tuhan, akan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan
yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan.
Mengenai
keadilan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa keadilan Tuhan mengandung
arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan
kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia dan segala perbuatannya adalah baik.
Menurut Asy’ariyah perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan
perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu, Tuhan
berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan lain. Menurut Maturidiyah Bukhara ketidakadilan
Tuhan haruslah difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
sedangkan Maturidiyah Samarkand persoalan-persoalan tersebut tidaklah
timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetapi
adalah perbuatan manusia itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu
al-Yusr Muhammad al-Bazdawiy, Kitab
Ushul al-Din, Hans Petter Lins, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1963.
Syaikh
Muhammad Abduh, Hasyiyah ‘ala Al-Aqa’id al-“adudiyah, Ed. Dr. Sulayman Dunya
dalam al-Syaikh Muhammad Abduh Baya al-Falasifah wa al-Kalamiyyin, Kairo:
Isa al-Baby al-Halaby, 1958.
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu
Kalam: untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Abul
A’la Maududi, Towards Understanding Islam, Lahore: One Seeking Mercy of Allah,
1960.
Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarah Tijan
ad-Darari, Fath al-Majid, Semarang: al-‘Alawiyah, t.th.
Al-Asy’ariy,
Kitab al-Luma’ J. McCharthy S.J., Byrout: Imprimerie Catholique, 1952.
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam:
Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990.
Al-Syahrasytaniy,
al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.
[1] Abu al-Yusr Muhammad
al-Bazdawiy, Kitab Ushul al-Din, Hans
Petter Lins, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1963, Hal: 68.
[2]
Syaikh Muhammad Abduh, Hasyiyah
‘ala Al-Aqa’id al-“adudiyah, Ed. Dr. Sulayman Dunya dalam al-Syaikh Muhammad
Abduh Baya al-Falasifah wa al-Kalamiyyin, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby,
1958, Hal: 546.
[3]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa,
1990. Hal: 80.
[4]
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam: untuk UIN, STAIN, dan PTAIS,
Bandung: Pustaka Setia, 2007. Hal: 187
[5] Abu al-Yusr Muhammad
al-Bazdawiy, Kitab Ushul al-Din, Hans
Petter Lins, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1963. Hal: 130.
[6] Abul A’la Maududi, Towards
Understanding Islam, Lahore: One Seeking Mercy of Allah, 1960.
Hal: 4.
[7]
Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarah Tijan ad-Darari, Fath al-Majid,
Semarang: al-‘Alawiyah, t.th. Hal: 5.
[8] Ibid.,
Hal: 5.
[9] Ibid.,
Hal: 5.
[10] Ibid.,
Hal: 5-6.
[11] Ibid.,
Hal: 6. Dan Syarah Fath al-Majid, Hal: 26.
[12]
Abu al-Yusr Muhammad
al-Bazdawiy, Kitab Ushul al-Din, Hans
Petter Lins, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1963, Hal: 42
[13] Al-Syahrasytaniy, al-Milal
wa al-Nihal, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th. Hal: 58.
[14]
Al-Asy’ariy, Kitab
al-Luma’ J. McCharthy S.J., Byrout: Imprimerie Catholique, 1952. Hal: 71.
[15]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa,
1990. Hal: 89.
[16]
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam: untuk UIN, STAIN, dan PTAIS,
Bandung: Pustaka Setia, 2007. Hal: 187
semoga bermanfaat,,,, amiiinnnn
BalasHapus