Translate

Selasa, 04 Desember 2012

kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perbedaan pendapat pada manusia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Demikian juga yang terjadi dalam kenyataan kehidupan kaum muslimin, dimana sejarah mencatat bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW. Setelah terbagi kepada beberapa aliran dalam bidang Teologi yang semulanya hanya dilatar belakangi oleh persoalan politik, seperti: Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Masing-masing aliran berbeda pendapat dalam mengemukakan konsep mereka dalam bidang teologi, di samping disebabkan karena memang munculnya perbedaan itu terkait langsung dengan perbedaan kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga disebabkan karena di antara dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan interpretasi, khususnya dalam lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat Tuhan, perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan Tuhan, kehendak mutlak Tuhan, akal dan wahyu.
Adapun materi yang akan kami bahas disini adalah kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan.
 BAB II
PEMBAHASAN
A.  Kehendak Mutlak Tuhan
Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah-nya bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas Tuhan tidak ada lagi suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa ada lagi suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan.[1] Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Sebagaimana kata al-Dawwaniy sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abduh, Tuhan adalah Maha Pemilik (al-Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tidak seorangpun yang dapat mencela perbuatan-Nya. Sungguhpun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.[2]
Sejalan dengan pernyataan di atas, al-Ghazali juga sama berpendapat bahwasanya Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukuman menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya.
Bagi kaum Asy’ariyah, Tuhan sama sekali tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya. Sementara menurut kaum Mu’tazilah, kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Sebab, kekuasaan Tuhan sudah dibatasi oleh kebebasan, yang menurut Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya. Selanjutnya kekuasaan mutlak Tuhan itu dibatasi pula oleh keadilan-Nya. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat kepada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat tuhan bersifat tidak adil. Bahkan zhalim. Sifat seperti ini tentu saja tidak bisa diberikan kepada Tuhan.
Secara jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukkum alam yang menurut Al-Qur’an tidak pernah berubah.[3]
Adapun kaum Muturidiyah  Bukhara, mereka menganut pendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak.[4] Menurut al-Bazdawiy, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak larangan-larangan terhadap Tuhan.[5] Akan tetapi walau bagaimanapun juga faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semutlak faham Asy’ari.
Adapun kaum Maturidiyah Samarkand, tidaklah sekeras Muturidiyah  Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, akan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan oleh kaum Maturidiyah Samarkand ini, adalah:
1.     Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia.
2.     Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, akan tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagaimana kata al-Bayadhi, tidak boleh tidak mesti terjadi. tidak ada suatu zatpun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah diatas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula.
Abul A’la Maududi, dalam hal ini menyatakan bahwa betapa banyak realitas kekuasaan Allah SWT, yang dapat membuktikan bahwa hanya ada Satu Pencipta, Penguasa Alam Semesta dan Pengatur Jagad Raya. Realitas ini memantulkan sifat-sifat Allah SWT. Kebijaksaan-Nya yang Maha Agung, kekuasaan-Nya yang tanpa batas, dan kekuatan-Nya yang tiada tara.[6]
Nawawi al-Bantani, sebagai pengikut al-Asy’ari, menyatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada suatu benda pun yang memiliki kekuatan dan efek terhadap lainnya, seperti makan tidak menyebabkan kenyang. Jika dikatakan bahwa makan dapat menyebabkan kenyang, karena Tuhan memberikan kekuatan atau sifat mengenyangkan, berarti Tuhan membutuhkan selain-Nya sebagai perantara terwujudnya kenyang itu. Orang yang menyatakan demikian dianggap fasiq dan bid‘ah,[7] termasuk kelompok Mu’tazilah.[8] Jika dikatakan bahwa, benda atau sesuatu itu menyebabkan timbulnya kekuatan tertentu, maka yang menyatakan demikian disebutnya kafir secara ijma’.[9] Menurutnya, yang paling selamat adalah menyatakan: “Bahwa kekuatan tertentu benda-benda itu hanyalah merupakan sebab yang telah biasa terjadi”.[10]
Menurutnya, kehendak Tuhan itu mutlak, menghendaki yang baik maupun yang jelek, namun tidak memerintah dan tidak meridai yang jelek itu. Tuhan menghendaki imannya Abu Bakar dan memerintahkannya, seperti juga menghendaki kekufuran Abu Jahal tanpa memerintah dan meridai atas kekufurannya itu.[11] Hal ini, sama dengan pendapat al-Bazdawi (Maturidiyah Bukhara), bahwa kekuasaan Tuhan ada dua macam, yaitu yang diridai dan yang tidak diridai. Artinya manusia melakukan perbuatan baik atau jelek atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya diridai, Tuhan tidak suka perbuatan jahat.[12]
B.   Keadilan Tuhan
1.  Faham Mu’tazilah
Soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan memberikan orang akan haknya . Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi upah kepada orang-orang yang patuh pada-Nya dan memberikan hukuman kepada orang-orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia.[13] Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya.
2.  Faham Asy’ariyah
Asy’ariyah menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian adanya tendensi untuk meninjau dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.
Dengan demikian keadilan Tuhan mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya berarti “Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”. Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.[14] Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil.
3.  Faham Maturidiyah
Faham Maturidiyah ini ada dua golongan, golongan Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand. Menurut Maturidiyah Bukhara ketidakadilan Tuhan haruslah difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Menurut Al-Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak  diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.[15]
Menurut Maturidiyah Samarkand, Tuhan adil bukan berarti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikankan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia, sebab Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim.[16]
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Mengenai kehendak mutlak Tuhan,  Asy’ariyah, Tuhan sama sekali tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya. Menurut Mu’tazilah, kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi, karena kekuasaan Tuhan sudah dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya dan dibatasi oleh keadilan-Nya. Muturidiyah  Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, sedangkan Maturidiyah Samarkand, tidaklah sekeras Muturidiyah Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, akan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan.
Mengenai keadilan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia dan segala perbuatannya adalah baik. Menurut Asy’ariyah perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu, Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Menurut Maturidiyah Bukhara ketidakadilan Tuhan haruslah difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sedangkan Maturidiyah Samarkand persoalan-persoalan tersebut tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetapi adalah perbuatan manusia itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawiy,  Kitab Ushul al-Din, Hans Petter Lins, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1963.
Syaikh Muhammad Abduh, Hasyiyah ‘ala Al-Aqa’id al-“adudiyah, Ed. Dr. Sulayman Dunya dalam al-Syaikh Muhammad Abduh Baya al-Falasifah wa al-Kalamiyyin, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1958.
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam: untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, Lahore: One Seeking Mercy of Allah, 1960.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarah Tijan ad-Darari, Fath al-Majid, Semarang: al-‘Alawiyah, t.th.
Al-Asy’ariy, Kitab al-Luma’ J. McCharthy S.J., Byrout: Imprimerie Catholique, 1952.
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990.
Al-Syahrasytaniy, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.


[1] Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawiy,  Kitab Ushul al-Din, Hans Petter Lins, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1963, Hal: 68.
[2] Syaikh Muhammad Abduh, Hasyiyah ‘ala Al-Aqa’id al-“adudiyah, Ed. Dr. Sulayman Dunya dalam al-Syaikh Muhammad Abduh Baya al-Falasifah wa al-Kalamiyyin, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1958, Hal: 546.
[3] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990. Hal: 80.
[4] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam: untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2007. Hal: 187
[5] Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawiy,  Kitab Ushul al-Din, Hans Petter Lins, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1963. Hal: 130.
[6] Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, Lahore: One Seeking Mercy of Allah, 1960.
Hal: 4.
[7] Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarah Tijan ad-Darari, Fath al-Majid, Semarang: al-‘Alawiyah, t.th. Hal: 5.
[8] Ibid., Hal: 5.
[9] Ibid., Hal: 5.
[10] Ibid., Hal: 5-6.
[11] Ibid., Hal: 6. Dan Syarah Fath al-Majid, Hal: 26.
[12] Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawiy,  Kitab Ushul al-Din, Hans Petter Lins, Kairo: Isa al-Baby al-Halaby, 1963, Hal: 42
[13] Al-Syahrasytaniy, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th. Hal: 58.
[14] Al-Asy’ariy, Kitab al-Luma’ J. McCharthy S.J., Byrout: Imprimerie Catholique, 1952. Hal: 71.
[15] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990. Hal: 89.
[16] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam: untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2007. Hal: 187

1 komentar: