ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN ISLAM
- ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN ISLAM
Gagasan islamisasi, sebagai fenomena modernitas, menarik
untuk dicermati dan menjadi great project bagi kalangan masyarakat Muslim.
Gagasan ini muncul untuk merespons perkembangan pengetahuan modern yang
didominasi peradaban Barat non-Islam. Dominasi peradaban sekuler menjadi faktor
dominan dari kemunduran umat Islam. Padahal, dalam sejarah awal
perkembangannya, umat Islam mampu membuktikan diri sebagai kampiun pertumbuhan
peradaban dan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam terus
memudar seiring dengan merosotnya kekuasaan politik Islam. Pesatnya kemajuan
ilmu pengetahuan di dunia Barat, secara tidak langsung, berimplikasi positif
bagi dunia Islam. Paling tidak, dunia Islam sadar akan terbelakangnya peradaban
dan ilmu pengetahuan di kalangan mereka. Sehingga, berangkat dari kesadaran
dimaksud, pada awal abad kedua puluh Islam mengalami dinamika baru melalui
reorientasi dan transformasi ajarannya. Kebangkitan Islam pada awal abad ini
diidentifikasi sebagai upaya memandang modernisasi yang berkembang dalam
bingkai Islam. Dalam bahasa Huntington, ia dipahami sebagai perwujudan dari
penerimaan terhadap modernitas, penolakan terhadap kebudayaan Barat, dan
re-komitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern. Dari sini
nyata bahwa kebangkitan Islam bukan berarti menolak kehidupan modern. Ia justru
mendorong umatnya untuk menjalani arus kehidupan modern yang memang tak
terbendung. Sehingga, Islam dapat mengartikulasikan ajarannya dalam semua sisi
kehidupan modern. Respons terhadap modernisasi disikapi umat Islam dengan tetap
bertopang pada ajaran Islam. Wujud nyata dari sikap umat adalah munculnya
proses islamisasi kehidupan modern di kalangan masyarakat Islam. Maka, tidak
berlebihan, bila sejak tahun 1970-an konsep islamisasi pengetahuan mulai
dibumikan oleh al-Attas. Kebangkitan Islam, yang secara massif dibarengi
simbolisasi Islam dalam kehidupan masyarakat Muslim, semakin mendorong isu
islamisasi. Sehingga, pada dekade tahun 1980–an yang merupakan titik awal
gerakan al-Faruqi, isu islamisasi ini mengambil obyek ilmu pengetahuan. Di sini
al-Faruqi berupaya memadukan nilai etis dan agama dengan ilmu pengetahuan
modern. Proses islamisasi ilmu pengetahuan tidak diarahkan untuk menolak
pengetahuan yang ada. Kecuali itu, ia merupakan upaya holistik dalam upaya
integrasi dua kajian, wahyu dan alam, untuk menemukan alternatif metode
pengetahuan yang mampu mengeluarkan manusia modern dari krisis peradaban destruktif.
Pelibatan aspek wahyu dalam metode pengetahuan, sebagai proses islamisasi,
berbanding terbalik dengan metode yang berkembang di kalangan ilmuan Barat
modern. Metode pengetahuan modern tidak lagi mempertimbangkan aspek nilai,
apalagi wahyu, dan bahkan secara ekstrim ia tidak lagi memberikan tempat pada
nilai-nilai manusiawi. Ini terlihat dari pernyataan Sardar bahwa desakan untuk
menolak semua pertimbangan nilai dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan
menyebabkan metode pengetahuan modern memperlakukan obyek penyelidikan, baik
manusia maupun bukan manusia, sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi,
dimanipulasi dan dibedah atas nama sains. Menyadari kondisi demikian, ilmuan
Muslim berupaya mengajukan metode pengetahuan dengan bertumpu pada ajaran Islam.
- TOKOH ILMUAN MUSLIM
Usaha-usaha ilmuan Muslim itu memusatkan diri di sekitar
masalah islamisasi ilmu pengetahuan. Beperapa tokoh yang memiliki concern besar
dalam persoalan ini, antara lain adalah
- Syed Muhammad Naquib al-Attas,
- Isma’il Raji al-Faruqi,
- Ziauddin Sardar.
Maka, dengan mempertimbangkan uraian di atas, kajian ini
berupaya menelusuri bagaimana konsep islamisasi ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut. Konsep yang ditawarkan al-Faruqi
adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak semuanya kontradiktif dengan nilai-nilai
Islam, sehinga menurutnya, islamisasi pengetahuan adalah melakukan penyaringan
dari ilmu pengetahuan yang telah ada dengan mempertimbangkan nilai-nilai Islam.
Metode konsepsi yang demikian dianggap sebagai metode integrasi antara teori
dan tradisi keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang sekuler. Sedangkan Sardar
berpandangan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses yang memulai
pengembangan semua cabang ilmu dari titik awal. Dari pada “mengislamkan”
disiplin-disiplin yang telah berkembang dalam peradaban Barat, kaum Muslim
lebih tepat untuk mengkonstruk paradigma-paradigma Islam, karena dengan itulah
tugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan urgen masyarakat Muslim bisa
terlaksana. Pengembangan melalui strategi ini akan menghindari kontaminasi dari
pemikiran Barat yang memang memiliki paradigma dan semangat yang berbeda dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Sementara al-Attas memiliki alasan yang hampir
sama dengan apa yang dikemukakan oleh Sardar, namun dengan implementasi yang
berbeda. Al-Attas berpendapat bahwa islamisasi harus menyeluruh dari filosofi,
paradigma hingga proses pembelajarannya yang menyesuaikan dengan karakteristik
keilmuan Islam. Proses pembelajarannya mengamini dan melanjutkan apa yang telah
dilakukan oleh para intelektual Muslim pada masa lalu. Dominasi intelektual
Muslim pada periode keemasan Islam merefleksikan keunggulan sistem pendidikan
atau pembelajaran ilmu pengetahuan.
- WESTERNISASI DAN ISLAMISASI ILMU
- Westernisasi Ilmu Pengetahuan
Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat
berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang dimunculkan
David Humme yang skeptik.Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun
metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak bersandarkan kepada panca
indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat
pernyataan-pernyataan sintetik – a priori seperti yang ada di dalam
matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris.
- Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Mengingat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang populer
di tahun 80-an, sejatinya telah dicanangkan kurang lebih dua dekade sebelumnya
oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, maka kajian mengenai substansi Islamisasi
ilmu pengetahuan kontemporer akan lebih jelas jika merujuk kepada
konsep-konsepnya. Selain itu, konsep-konsep yang diajukannya berdasarkan
pernahaman yang mendalam terhadap pandangan hidup dan peradaban manusia Barat
dan epistemologinya.
- Syed Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang
terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modernsekuler merupakan tantangan yang
paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat
modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami
makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan
ilmu.Sekalipun, peradaban Barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat,
namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan
manusia.Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah
basil dan kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan
dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu
juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan.
Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan
agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi
filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai
makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral,
yang diatur oleb rasio manusia, terus menerus berubah.
Karena ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat
itujustru menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, Syed
Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tak
semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang
sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu
kebudayaan.Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai
(value laden).
Memang antara Islam dengan filsafat dan sains modern,
sebagaimana yang disadari oleh Syed Muhammad Naquib alAttas terdapat persamaan
khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara
mengetahui secara nalar dan empins, kombinasi realisme, idealisme dan
pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat
sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar
dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya,
dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir
berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.
Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas
dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam
Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusja
dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep
Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat.
Real itas dan kebenaran dimaknaj berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia
yang nampak dan tidak nampak.
Jadi, pandangan-hidup Islam mencalcup dunia dan akhirat,
yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalain
kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansj yang terakhir dan
final.
Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode
dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatjf. Namun,
realitas dan kebenaran dipahamj dengan metode yang menyatukan (tawbid).
Pandanganhjdup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan
intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya ibadahnya,
doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh
Nabi.
Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan
progresifitas, perkenibangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat
jelas (al-ma‘lum min al-din bi al-darürah). Pandanganhidup Islam terdiri dan
berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, penciptaan,
psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta
kebahagiaan.Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan,
perkembangan dan kemajuan Pandanganhjdup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang
unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.
Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang
dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa
dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam
adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memuliki pandanganhjdup mutlaknya sendiri,
merangkumj persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dli. Islam
memuliki penafsjran ontologis, kosmologis dan psikologus tersendini terhadap
hakikat. Islam menolak ide dekonseknasj nilai karena merelatifkan semua sistem
akhlak.
memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep.konsep kunci
dalam setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevant.Jika kedua
proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia
dan magik, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan
dengan Islam, dan kemudian dan kontrol sekular kepada akal dan bahasanya.Islamisasi
akan membebaskan akal manusia dan keraguan (sbakk), dugaan (zann) dan
argumentasi kosong (miro/) menuju keyakmnan akan kebenaran mefigenai realitas
spiritual, intelligible dan maten.42 Islamisasi akan mengeluarkan
penalsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dan ideologi, makna dan
ungkapan sekular.
- KRIFIK TERHADAP ISLAMISASI ILMU
Menurut Faziur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa
diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya
hanya dalam menyalahgunakan, Bagi Faziur Rahman, ilmu pengetahuan
memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan
dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya
secara benar ketika rnemperolehnya..
Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan ilmu pengetahuan
dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk direvisi oleh
generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar
terkait dengan aspekaspek ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.
Kritik terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan juga diajukan
Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan, Islamisasi ilmu pengetahuan tidak logis
atau tidak mungkin (the inipossibility or illogicality of Islamization of
knowledge). Alasannya, Realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami.
Kebenaran untuk hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Oleh
sebab itu, Sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau bukan pula
tidak Islami.
Namun, pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai
pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islamisasi bukanlah
memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan
Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis.
Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah
dunia rnaju, maka gagasan Islamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang
menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan
disebabkan perbedaan pàndangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain
berbeda. Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat.
Ia juga mentransforinasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam
Islam. Islamisasi adalah menjadikan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan
lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.
Sekalipun istilah Islamisasi adalah baru, namun konsep yang
terkandung di dalam kata tersebut bukanlah baru. AlQur’an, misalnya telah
mengislamkan sejumlah kosa-kata Arab yang digunakan pada saat itu. Al-Qur’än
mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidangbidang semantik dan kosa
kata. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk
memproyeksikan hal-hal yang bukan dan pandangan hidup Islam.
Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi telah dilakukan
khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi,
Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam,
mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran
Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dan filsafat Yunani kuno yang diterima
dan ada juga yang ditolak.Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu kontemporer yang
diformulasikan Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu “revolusi
epistemologis” yang merupakan merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis
yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat
- PANDANGAN ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru
dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak dan interaksi yang
intensif pada beberapa kasus, bahkan berupa benturan fisik antara dunia
Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemoderenan” serta modernisme,
westernisasi atau pembaratan, dan sekularisme menjadi objek utama perhatian
para pemikir muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu, sehingga
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan untuk menanggapi fenomena tersebut..
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan tersebut melahirkan sebuah diskursus pemikiran antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat Islami. Dapat juga merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap Islami, dengan menolak sebagian lain. Tidak bisa dipungkiri, usaha Islamisasi berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan sebuah filsafat ilmu pengetahuan Islam, pada akhirnya adalah upaya untuk merekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat. Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Utsmani menjadi Pasya pada tahun 1805, dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan Islamisasi Ilmui pengetahuan Setidaknya sejak 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamization of knowledge (Islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya cukup beragam (kelompok) pemikir muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-beda, bahkan tidak jarang terdapat pertentangan pendapat. Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat dalam kaitanya dengan penggunaan kata ilmu pengetahuan atau sains, Islamisasi, Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah dipaparkan di atas, sebetulnya hal ini telah dimulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tidak efektifnya usaha mengejar ketertinggalan muslim dari Barat di masa lalu, pada perkembanganya hal tersebut mengkerucut dan mengkristal menjadi gerakan dengan orientasi baru pada beberapa kelompok.
Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tidak terkecuali umat Islam. Sebagai akibat dari fenomena itu, sebagian ilmuwan muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut Islamisasi ilmu pengetahuan atau pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam atau Islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu pengetahuan.
Jelas bahwa ilmu pengetahuan Islam adalah sebuah istilah modern. Kita tak bisa menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam masa yang disebut Zaman Keemasan Islam. Bahkan, bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an, misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika dengan dukungan penguasa, para ilmuwan muslim (dan sebagian kecilnya adalah non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya “Islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi Yunani itu. Ia juga menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena Islamisasi dibandingkan dengan, misalnya, metafisika.
Jadi, di sini istilah Islami digunakan untuk menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah, sebagaimana istilah modern, abad pertengahan, klasik atau Yunani digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai Islam. Kedua makna ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu pengetahuan modern dalam islam
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan tersebut melahirkan sebuah diskursus pemikiran antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat Islami. Dapat juga merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap Islami, dengan menolak sebagian lain. Tidak bisa dipungkiri, usaha Islamisasi berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan sebuah filsafat ilmu pengetahuan Islam, pada akhirnya adalah upaya untuk merekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat. Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Utsmani menjadi Pasya pada tahun 1805, dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan Islamisasi Ilmui pengetahuan Setidaknya sejak 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamization of knowledge (Islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya cukup beragam (kelompok) pemikir muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-beda, bahkan tidak jarang terdapat pertentangan pendapat. Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat dalam kaitanya dengan penggunaan kata ilmu pengetahuan atau sains, Islamisasi, Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah dipaparkan di atas, sebetulnya hal ini telah dimulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tidak efektifnya usaha mengejar ketertinggalan muslim dari Barat di masa lalu, pada perkembanganya hal tersebut mengkerucut dan mengkristal menjadi gerakan dengan orientasi baru pada beberapa kelompok.
Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tidak terkecuali umat Islam. Sebagai akibat dari fenomena itu, sebagian ilmuwan muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut Islamisasi ilmu pengetahuan atau pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam atau Islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu pengetahuan.
Jelas bahwa ilmu pengetahuan Islam adalah sebuah istilah modern. Kita tak bisa menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam masa yang disebut Zaman Keemasan Islam. Bahkan, bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an, misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika dengan dukungan penguasa, para ilmuwan muslim (dan sebagian kecilnya adalah non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya “Islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi Yunani itu. Ia juga menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena Islamisasi dibandingkan dengan, misalnya, metafisika.
Jadi, di sini istilah Islami digunakan untuk menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah, sebagaimana istilah modern, abad pertengahan, klasik atau Yunani digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai Islam. Kedua makna ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu pengetahuan modern dalam islam
PENUTUP
Dalam Islam, Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan.
Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang
ilmuan besar, Albert Enstein mengatakan bahwa “Science without Religion is
blind, and Religion without science is lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu
satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan islam, ilmu agama dan umum
sama-sama berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk
bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. Hal ini
dikarenakan Al-qur’an merupakan sumber dan rujukan utama ajaran-Nya memuat
semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama.
Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah memahami
prinsip-prinsip Al-quran. Kata “Islamisasi” dalam makalah ini dapat dipahami
dengan beberapa catatan. Pertama, unsur Islam dalam islamisasi tidak mesti
dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara
harfiah dalam Al-qur’an dan hadits. Tetapi sebaiknya dilihat dari segi
spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran fundamental islam.
Seperti kepercayaan kepada yang gaib, malaikat, Tuhan dan juga wahyu. Adapun
rujukannya disamping Al-quran dan hadits bisa saja berasal dari sumber yang
bermacam-macam, seperti Yunani, Persia, India, pada masa lalu bahkan Barat pada
masa sekarang. Kedua, Islamisasi tidak semata-mata berupa pembelaan sains
dengan ayat Al-quran atau hadits yang dipandang cocok dengan penemuan ilmiah,
tetapi beroperasi pada level Epistemologi. Terakhir, Islamisasi didasarkan pada
pada asumsi bahwa ilmu tidak pernah sama sekali terbebas dari nilai. Dalam
menatap era globalisasi, ada beberapa model islamisasi pengetahuan yang bisa
dikembangakan, diantaranya: model purifikasi, model modernisasi islam, dan
model neo-modernisme
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadhi, 2003, Pengantar Epistemologi Islam,
Mizan Media Utama, Bandung.
Bahtiar, Amsal, 2005, Filsafat Ilmu, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Nata, Abuddin, dkk, 2003, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu
Umum, UIN Jakarta Press, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar