Translate

Rabu, 26 Desember 2012

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Islam



ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN ISLAM
  1. ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN ISLAM
            Gagasan islamisasi, sebagai fenomena modernitas, menarik untuk dicermati dan menjadi great project bagi kalangan masyarakat Muslim. Gagasan ini muncul untuk merespons perkembangan pengetahuan modern yang didominasi peradaban Barat non-Islam. Dominasi peradaban sekuler menjadi faktor dominan dari kemunduran umat Islam. Padahal, dalam sejarah awal perkembangannya, umat Islam mampu membuktikan diri sebagai kampiun pertumbuhan peradaban dan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam terus memudar seiring dengan merosotnya kekuasaan politik Islam. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Barat, secara tidak langsung, berimplikasi positif bagi dunia Islam. Paling tidak, dunia Islam sadar akan terbelakangnya peradaban dan ilmu pengetahuan di kalangan mereka. Sehingga, berangkat dari kesadaran dimaksud, pada awal abad kedua puluh Islam mengalami dinamika baru melalui reorientasi dan transformasi ajarannya. Kebangkitan Islam pada awal abad ini diidentifikasi sebagai upaya memandang modernisasi yang berkembang dalam bingkai Islam. Dalam bahasa Huntington, ia dipahami sebagai perwujudan dari penerimaan terhadap modernitas, penolakan terhadap kebudayaan Barat, dan re-komitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern. Dari sini nyata bahwa kebangkitan Islam bukan berarti menolak kehidupan modern. Ia justru mendorong umatnya untuk menjalani arus kehidupan modern yang memang tak terbendung. Sehingga, Islam dapat mengartikulasikan ajarannya dalam semua sisi kehidupan modern. Respons terhadap modernisasi disikapi umat Islam dengan tetap bertopang pada ajaran Islam. Wujud nyata dari sikap umat adalah munculnya proses islamisasi kehidupan modern di kalangan masyarakat Islam. Maka, tidak berlebihan, bila sejak tahun 1970-an konsep islamisasi pengetahuan mulai dibumikan oleh al-Attas. Kebangkitan Islam, yang secara massif dibarengi simbolisasi Islam dalam kehidupan masyarakat Muslim, semakin mendorong isu islamisasi. Sehingga, pada dekade tahun 1980–an yang merupakan titik awal gerakan al-Faruqi, isu islamisasi ini mengambil obyek ilmu pengetahuan. Di sini al-Faruqi berupaya memadukan nilai etis dan agama dengan ilmu pengetahuan modern. Proses islamisasi ilmu pengetahuan tidak diarahkan untuk menolak pengetahuan yang ada. Kecuali itu, ia merupakan upaya holistik dalam upaya integrasi dua kajian, wahyu dan alam, untuk menemukan alternatif metode pengetahuan yang mampu mengeluarkan manusia modern dari krisis peradaban destruktif. Pelibatan aspek wahyu dalam metode pengetahuan, sebagai proses islamisasi, berbanding terbalik dengan metode yang berkembang di kalangan ilmuan Barat modern. Metode pengetahuan modern tidak lagi mempertimbangkan aspek nilai, apalagi wahyu, dan bahkan secara ekstrim ia tidak lagi memberikan tempat pada nilai-nilai manusiawi. Ini terlihat dari pernyataan Sardar bahwa desakan untuk menolak semua pertimbangan nilai dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan menyebabkan metode pengetahuan modern memperlakukan obyek penyelidikan, baik manusia maupun bukan manusia, sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi, dimanipulasi dan dibedah atas nama sains. Menyadari kondisi demikian, ilmuan Muslim berupaya mengajukan metode pengetahuan dengan bertumpu pada ajaran Islam.
  1. TOKOH ILMUAN MUSLIM
Usaha-usaha ilmuan Muslim itu memusatkan diri di sekitar masalah islamisasi ilmu pengetahuan. Beperapa tokoh yang memiliki concern besar dalam persoalan ini, antara lain adalah

  • Syed Muhammad Naquib al-Attas,
  • Isma’il Raji al-Faruqi,
  • Ziauddin Sardar.
Maka, dengan mempertimbangkan uraian di atas, kajian ini berupaya menelusuri bagaimana konsep islamisasi ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut. Konsep yang ditawarkan al-Faruqi adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak semuanya kontradiktif dengan nilai-nilai Islam, sehinga menurutnya, islamisasi pengetahuan adalah melakukan penyaringan dari ilmu pengetahuan yang telah ada dengan mempertimbangkan nilai-nilai Islam. Metode konsepsi yang demikian dianggap sebagai metode integrasi antara teori dan tradisi keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang sekuler. Sedangkan Sardar berpandangan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses yang memulai pengembangan semua cabang ilmu dari titik awal. Dari pada “mengislamkan” disiplin-disiplin yang telah berkembang dalam peradaban Barat, kaum Muslim lebih tepat untuk mengkonstruk paradigma-paradigma Islam, karena dengan itulah tugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan urgen masyarakat Muslim bisa terlaksana. Pengembangan melalui strategi ini akan menghindari kontaminasi dari pemikiran Barat yang memang memiliki paradigma dan semangat yang berbeda dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Sementara al-Attas memiliki alasan yang hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Sardar, namun dengan implementasi yang berbeda. Al-Attas berpendapat bahwa islamisasi harus menyeluruh dari filosofi, paradigma hingga proses pembelajarannya yang menyesuaikan dengan karakteristik keilmuan Islam. Proses pembelajarannya mengamini dan melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh para intelektual Muslim pada masa lalu. Dominasi intelektual Muslim pada periode keemasan Islam merefleksikan keunggulan sistem pendidikan atau pembelajaran ilmu pengetahuan.



  1. WESTERNISASI DAN ISLAMISASI ILMU
  1. Westernisasi Ilmu Pengetahuan
Pada zaman modern, filsafat Imman­uel Kant sangat berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu penge­tahuan yang dimunculkan David Humme yang skeptik.Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak bersandarkan ke­pada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik – a priori sep­erti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fak­ta empiris.
  1. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Mengingat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang populer di tahun 80-an, sejatinya telah dicanangkan kurang lebih dua dekade sebelumnya oleh Syed Mu­hammad Naquib al-Attas, maka kajian mengenai substansi Islamisasi ilmu penge­tahuan kontemporer akan lebih jelas jika merujuk kepada konsep-konsepnya. Selain itu, konsep-konsep yang diajukannya berdasarkan pernahaman yang mendalam terhadap pandangan hidup dan peradaban manusia Barat dan epistemologinya.
  1. Syed Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern­sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problema­tis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghi­langkan maksud dan tujuan ilmu.Sekalipun, peradaban Barat modern meng­hasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebab­kan kerusakan dalam kehidupan manusia.Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah basil dan kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat kera­guan dan dugaan ke tahap metodologi ‘il­miah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keil­muan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan keper­cayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spe­kulasi filosofis yang terkait dengan kehidu­pan sekular yang memusatkan manusia se­bagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan mor­al, yang diatur oleb rasio manusia, terus menerus berubah.
Karena ilmu pengetahuan dalam bu­daya dan peradaban Barat itujustru meng­hasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa di­jadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup se­suatu kebudayaan.Sebabnya, ilmu bukan be­bas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).
Memang antara Islam dengan filsafat dan sains modern, sebagaimana yang disadari oleh Syed Muhammad Naquib al­Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatu­an cara mengetahui secara nalar dan em­pins, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) men­genai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.
Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebe­naran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusja dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Real itas dan kebenaran dimaknaj berdasar­kan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.
Jadi, pandangan-hidup Islam mencalc­up dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalain kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansj yang terakhir dan final.
Pandangan hidup Islam tidak ber­dasarkan kepada metode dikotomis sep­erti obyektif dan subyektif, historis dan normatjf. Namun, realitas dan kebenaran dipahamj dengan metode yang menyatu­kan (tawbid). Pandanganhjdup Islam ber­sumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya ibadahnya, doktrinya serta sistem teolog­inya telah ada dalam wahyu dan dijelas­kan oleh Nabi.
Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkenibangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma‘lum min al-din bi al-darürah). Pandanganhidup Islam terdiri dan berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pen­ciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan.Konsep-konsep tersebut yang menen­tukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan Pandanganhjdup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.
Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah aga­ma yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bu­kan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memuliki pandanganhjdup mutlaknya sendiri, merangkumj persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam se­mesta dli. Islam memuliki penafsjran on­tologis, kosmologis dan psikologus tersendini terhadap hakikat. Islam meno­lak ide dekonseknasj nilai karena merelat­ifkan semua sistem akhlak.
memasukkan unsur-unsur Islam be­serta konsep.konsep kunci dalam setiap bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevant.Jika kedua proses tersebut selesai di­lakukan, maka Islamisasi akan membebas­kan manusia dan magik, mitologi, animis­me, tradisi budaya nasional yang berten­tangan dengan Islam, dan kemudian dan kontrol sekular kepada akal dan bahasan­ya.Islamisasi akan membebaskan akal manusia dan keraguan (sbakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (miro/) menuju keyakmnan akan kebenaran mefi­genai realitas spiritual, intelligible dan ma­ten.42 Islamisasi akan mengeluarkan penal­siran-penafsiran ilmu pengetahuan kon­temporer dan ideologi, makna dan ungkapan sekular.
  1. KRIFIK TERHADAP ISLAMISASI ILMU
Menurut Faziur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan kare­na tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan, Bagi Faziur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertang­gung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika rnemperolehnya..
Syed Muhammad Naquib al-Attas mene­gaskan ilmu pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar terkait dengan aspek­aspek ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.
Kritik terhadap Is­lamisasi ilmu penge­tahuan juga diajukan Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan, Is­lamisasi ilmu penge­tahuan tidak logis atau tidak mungkin (the inipos­sibility or illogicality of Is­lamization of knowledge). Alasannya, Realitas bu­kan Islami atau bukan pula tidak Islami. Kebe­naran untuk hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Isla­mi. Oleh sebab itu, Sains sebagai proposi­si yang benar, bukan Is­lami atau bukan pula tidak Islami.
Namun, pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islam­isasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia rnaju, maka gagasan Is­lamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pàndangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain berbeda. Islamisasi bukan saja mengkri­tik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransforinasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandan­gan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadi­kan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.
Sekalipun istilah Islamisasi adalah baru, namun konsep yang terkandung di dalam kata tersebut bukanlah baru. Al­Qur’an, misalnya telah mengislamkan sejumlah kosa-kata Arab yang digunakan pada saat itu. Al-Qur’än mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang­bidang semantik dan kosa kata. Khususn­ya istilah-istilah dan konsep-konsep kun­ci, yang digunakan untuk memproyeksi­kan hal-hal yang bukan dan pandangan hidup Islam.
Pada “zaman pertengahan,” Islamis­asi telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fa­khruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yu­nani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dan filsafat Yunani kuno yang diteri­ma dan ada juga yang ditolak.Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu kontemporer yang diformulasikan Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu “revolusi epistemologis” yang meru­pakan merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat
  1. PANDANGAN ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak dan interaksi yang intensif pada beberapa kasus, bahkan berupa benturan fisik  antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemoderenan” serta modernisme, westernisasi atau pembaratan, dan sekularisme menjadi objek utama perhatian para pemikir muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan untuk menanggapi fenomena tersebut..
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan tersebut melahirkan sebuah diskursus pemikiran antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat Islami. Dapat juga merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap Islami, dengan menolak sebagian lain. Tidak  bisa dipungkiri,  usaha Islamisasi berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan sebuah filsafat ilmu pengetahuan Islam, pada  akhirnya adalah upaya untuk  merekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam             Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat. Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Utsmani menjadi Pasya pada tahun 1805, dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan Islamisasi Ilmui pengetahuan Setidaknya sejak 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamization of knowledge (Islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya cukup beragam (kelompok) pemikir muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-beda, bahkan tidak jarang terdapat pertentangan pendapat. Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat dalam kaitanya dengan penggunaan kata ilmu pengetahuan atau sains, Islamisasi, Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah dipaparkan di atas, sebetulnya hal ini telah dimulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tidak efektifnya usaha mengejar ketertinggalan muslim dari Barat di masa lalu, pada perkembanganya hal tersebut mengkerucut dan mengkristal menjadi gerakan dengan orientasi baru pada beberapa kelompok.
Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tidak terkecuali umat Islam. Sebagai akibat dari fenomena itu, sebagian ilmuwan muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut Islamisasi ilmu pengetahuan atau pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam atau Islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu pengetahuan.
Jelas bahwa ilmu pengetahuan Islam adalah sebuah istilah modern. Kita tak bisa menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam masa yang disebut Zaman Keemasan Islam. Bahkan, bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an, misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika dengan dukungan penguasa, para ilmuwan muslim (dan sebagian kecilnya adalah non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya “Islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi Yunani itu. Ia juga menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena Islamisasi dibandingkan dengan, misalnya, metafisika.
Jadi, di sini istilah Islami digunakan untuk menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah, sebagaimana istilah modern, abad pertengahan, klasik atau Yunani digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai Islam. Kedua makna ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu pengetahuan modern dalam islam

PENUTUP
            Dalam Islam, Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Enstein mengatakan bahwa “Science without Religion is blind, and Religion without science is lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan islam, ilmu agama dan umum sama-sama berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan Al-qur’an merupakan sumber dan rujukan utama ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama. Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah memahami prinsip-prinsip Al-quran. Kata “Islamisasi” dalam makalah ini dapat dipahami dengan beberapa catatan. Pertama, unsur Islam dalam islamisasi tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara harfiah dalam Al-qur’an dan hadits. Tetapi sebaiknya dilihat dari segi spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran fundamental islam. Seperti kepercayaan kepada yang gaib, malaikat, Tuhan dan juga wahyu. Adapun rujukannya disamping Al-quran dan hadits bisa saja berasal dari sumber yang bermacam-macam, seperti Yunani, Persia, India, pada masa lalu bahkan Barat pada masa sekarang. Kedua, Islamisasi tidak semata-mata berupa pembelaan sains dengan ayat Al-quran atau hadits yang dipandang cocok dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level Epistemologi. Terakhir, Islamisasi didasarkan pada pada asumsi bahwa ilmu tidak pernah sama sekali terbebas dari nilai. Dalam menatap era globalisasi, ada beberapa model islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangakan, diantaranya: model purifikasi, model modernisasi islam, dan model neo-modernisme

DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadhi, 2003, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan Media Utama, Bandung.
Bahtiar, Amsal, 2005, Filsafat Ilmu, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Nata, Abuddin, dkk, 2003, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, UIN Jakarta Press, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar