Translate

Selasa, 04 Desember 2012

Konsep Pendidikan dalam Persfektif Hadits


TUGAS AKHIR SEMESTER
PERBAIKAN MAKALAH HADITS PENDIDIKAN
KONSEP TARBIYAH, TA’LIM, TADRIS DAN TA’DIB DALAM HADITS
Oleh: Rahmadawati
Semester: IV B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN SAMBAS

A.  Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat strategis dalam membangun sebuah peradaban, khususnya peradaban yang Islami. Bahkan, ayat pertama[1] diturunkan oleh Allah sangat berhubungan dengan pendidikan. Keberbagaian konsep dalam pendidikan Islam turut dilihat sebagai faktor utama dalam melahirkan manusia yang bertakwa dan mengabdikan diri kepada Allah swt. Konsep tersebut menjadi penggerak utama dalam mencapai matlamat pendidikan iaitu membentuk manusia yang mempunyai cita-cita dan falsafah hidup yang tersendiri yang berperanan sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi ini, sekaligus mewujudkan masyarakat yang progresif dan bertamadun seperti yang digariskan oleh Islam.[2]
Namun, konsep atau teori pendidikan mengalami sebuah perdebatan hangat bagi para pakar atau ilmuwan. Peran pendidikan yang semakin disadari pentingnya dalam melahirkan sebuah generasi tidaklah cukup tanpa disertai oleh konsep yang benar. Apabila kita menerima teori ilmiah empiris sebagai sebuah paradigma dalam teori pendidikan, maka disadari atau tidak berarti kita telah meninggalkan hal-hal yang bersifat metafisis dalam Al-Qur’an dan Hadits.[3] Metode ilmiah dalam membangun sebuah teori harus dapat diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang belum bisa dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun sebuah teori termasuk didalamnya teori pendidikan. Padahal, Al-Qur’an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad saw, dari masa ke masa selalu berkembang pembuktian terhadap mukjizat Ilmiahnya, mulai dari masa lampau sampai masa yang akan datang. Menyesuaikan dengan kemampuan manusia dalam membaca mukjizat tersebut.[4] Allah swt berfirman:
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَطاَئِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلآَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُم مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami apakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Rabblah mereka dihimpunkan.”[5]
Ditegaskan juga dalam ayat lain:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَآؤُلاَءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammmad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.”[6]
Untuk itu menjadi hal yang sangat penting dan mendasar bagi para muslim untuk memahami konsep pendidikan menurut Al-Qur’an dan Hadits. Konsep dasar yang perlu untuk dikaji berawal dari definisi atau pengertian pendidikan yang disandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Ada empat konsep dasar pendidikan Islam dalam perspektif hadits yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan tadris yang akan dibahas selanjutnya.

B.   Teks Hadits
1.    Hadits tentang Tarbiyah
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
 عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
 قَالَ الشَّيْخُ أَبُو أَحْمَدَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ زَنْجُويَةَ الْقُشَيْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
Artinya: Telah menceritakan kepadaku 'Abdul A'laa bin Hammad; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Pada suatu ketika ada seorang lelaki yang mengunjungi saudaranya di desa lain. Kemudian Allah pun mengutus seorang malaikat untuk menemui orang tersebut. Ketika orang itu ditengah perjalanannya ke desa yang dituju, maka malaikat tersebut bertanya; 'Hendak pergi ke mana kamu? ' Orang itu menjawab; 'Saya akan menjenguk saudara saya yang berada di desa lain.' Malaikat itu terus bertanya kepadanya; 'Apakah kamu mempunyai satu perkara yang menguntungkan dengannya? ' Laki-laki itu menjawab; 'Tidak, saya hanya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla.' Akhirnya malaikat itu berkata; 'Sesungguhnya aku ini adalah malaikat utusan yang diutus untuk memberitahukan kepadamu bahwasanya Allah akan senantiasa mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu karena Allah.' Berkata Syaikh Abu Ahmad; Telah mengabarkan kepadaku Abu Bakr Muhammad bin Zanjuyah Al Qusyairi; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul A'laa bin Hammad; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah melalui jalur ini dengan Hadits yang serupa.[7]

2.    Hadits tentang Ta’lim
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ
بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدَّنَّهُمْ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ قَالَ قُلْتُ وَمِنَّا رِجَالٌ يَخُطُّونَ قَالَ كَانَ نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ يَخُطُّ فَمَنْ وَافَقَ خَطَّهُ فَذَاكَ قَالَ وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا قَالَ ائْتِنِي بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin ash-Shabbah dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan keduanya berdekatan dalam lafazh hadits tersebut, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj ash-Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir dari Hilal bin Abi Maimunah dari 'Atha' bin Yasar dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dia berkata, "Ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, 'Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) '. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku." Aku berkata, "Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku?" Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Tetapi aku telah diam. Tatkala Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam selesai shalat, Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau bersabda, 'Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur'an.' -Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, "Saya berkata, 'Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku dekat dengan masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di antara kita ada beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.' Beliau bersabda, 'Janganlah kamu mendatangi mereka.' Dia berkata, 'Dan di antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).' Beliau bersabda, 'Itu adalah rasa waswas yang mereka dapatkan dalam dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka. -Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi, 'Maka jangan menghalangi kalian-." Dia berkata, "Aku berkata, 'Di antara kami adalah beberapa orang yang menuliskan garis hidup.' Beliau menjawab, 'Dahulu salah seorang nabi menuliskan garis hidup, maka barangsiapa yang bersesuaian garis hidupnya, maka itulah (yang tepat, maksudnya seorang nabi boleh menggambarkan masa yang akan datang, pent) '." Dia berkata lagi, "Dahulu saya mempunyai budak wanita yang menggembala kambing di depan gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada suatu hari aku memeriksanya, ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing dari gembalaannya. Aku adalah laki-laki biasa dari keturunan bani Adam yang bisa marah sebagaimana mereka juga bisa marah. Tetapi aku menamparnya sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau anggap tamparan itu adalah masalah besar. Aku berkata, "(Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih baik aku memerdekakannya?' Beliau bersabda, 'Bawalah dia kepadaku.' Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau bertanya, 'Di manakah Allah? ' Budak itu menjawab, 'Di langit.' Beliau bertanya, 'Siapakah aku?' Dia menjawab, 'Kamu adalah utusan Allah.' Beliau bersabda, 'Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah'." Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami al-Auza'i dari Yahya bin Abi Katsir dengan isnad ini hadits semisalnya.[8]
3.    Hadits tentang Tadris
حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَةَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ الْيَهُودَ جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ مِنْهُمْ وَامْرَأَةٍ قَدْ زَنَيَا فَقَالَ لَهُمْ كَيْفَ تَفْعَلُونَ بِمَنْ زَنَى مِنْكُمْ قَالُوا نُحَمِّمُهُمَا وَنَضْرِبُهُمَا فَقَالَ لَا تَجِدُونَ فِي التَّوْرَاةِ الرَّجْمَ فَقَالُوا لَا نَجِدُ فِيهَا شَيْئًا فَقَالَ لَهُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ كَذَبْتُمْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ فَوَضَعَ مِدْرَاسُهَا الَّذِي يُدَرِّسُهَا مِنْهُمْ كَفَّهُ عَلَى آيَةِ الرَّجْمِ فَطَفِقَ يَقْرَأُ مَا دُونَ يَدِهِ وَمَا وَرَاءَهَا وَلَا يَقْرَأُ آيَةَ الرَّجْمِ فَنَزَعَ يَدَهُ عَنْ آيَةِ الرَّجْمِ فَقَالَ مَا هَذِهِ فَلَمَّا رَأَوْا ذَلِكَ قَالُوا هِيَ آيَةُ الرَّجْمِ فَأَمَرَ بِهِمَا فَرُجِمَا قَرِيبًا مِنْ حَيْثُ مَوْضِعُ الْجَنَائِزِ عِنْدَ الْمَسْجِدِ فَرَأَيْتُ صَاحِبَهَا يَحْنِي عَلَيْهَا يَقِيهَا الْحِجَارَةَ
Artinya: Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Mundzir Telah menceritakan kepada kami Abu Dlamrah; Telah menceritakan kepada kami Musa bin 'Uqbah dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu bahwa orang-orang Yahudi menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan membawa seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah berzina. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada mereka: 'Apa yang kalian lakukan kepada orang yang berzina? ' Mereka menjawab; 'Kami mencoret-coret wajah keduanya dengan warna hitam dan memukulnya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Apakah kalian tidak menemukan hukuman rajam di dalam Taurat? Mereka menjawab; 'Kami tidak mendapatkannya sedikit pun. Maka Abdullah bin Salam berkata kepada mereka; 'Kalian telah berdusta, datangkanlah Taurat kalian dan bacalah jika kalian orang-orang yang jujur.' Maka mereka pun meletakan kitab yang mereka pelajari dan di antara mereka ada yang menutupinya dengan tangan pada ayat rajam, dengan cepat dia membaca apa yang ada disamping kanan kirinya tanpa membaca ayat rajam. Abdullah Salam pun segera menyingkirkan tangannya, seraya berkata; 'Apa ini? ' Tatkala mereka melihat hal itu, mereka menjawab; 'ini adalah ayat rajam.' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh untuk merajam keduanya di dekat kuburan samping masjid. Kata Abdullah; 'Aku melihat lelakinya melindungi dan menutupi wanitanya dari lemparan batu dengan cara membungkukkan badannya.[9]

4.    Hadits tentang Ta’dib
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ صَالِحٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ جَارِيَةٌ فَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا وَأَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أَجْرَانِ وَأَيُّمَا عَبْدٍ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ فَلَهُ أَجْرَانِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Shalih dari Asy-Sya'biy dari Abu Burdah dari Abu Musa Al Asy'ariy radliallahu 'anhu berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa saja dari seseorang yang memiliki seorang budak wanita lalu mendididiknya dengan sebaik-baik pendidikan, kemudian dibebaskannya lalu dinikahinya maka baginya mendapat dua pahala, dan siapa saja dari seorang hamba yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya maka baginya mendapat dua pahala.[10]

C.  Mufradat
Menguntungkan dengannya
تَرُبُّهَا
Seorang pendidik
مُعَلِّمًا
Yang lebih baik pengajarannya
أَحْسَنَ تَعْلِيْمًا
Mereka pelajari
مِدْرَاسُهَا
Yang menutupinya
يُدَرِّسُهَا
Mendidiknya
فَأَدَّبَهَا
Sebaik-baik pendidikan
فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبَهَا


D.  Takhrij Hadits
Setelah memaparkan teks hadits, maka langkah selanjutnya adalah melakukan takhrij hadits. Berdasarkan hasil penelitian dari beberapa kitab hadits, dapat diketahui bahwa dalam Shahih Muslim, ditemukan satu jalur periwayatan hadits tentang tarbiyah. Sedangkan hadits tentang ta’lim ditemukan sedikitnya tiga jalur periwayatan. Dalam Shahih Bukhari, ditemukan satu jalur periwayatan hadits tentang tadris dan ta’dib.
Dari temuan di atas, selanjutnya penulis akan membahas masing-masing hadits sesuai jalur periwayatannya.

Skema I
Jalur Periwayatan dalam Shahih Muslim
Rounded Rectangle: Muslim



Berdasarkan skema di atas dan keterangan sanad pada lampiran, dinyatakan bahwa hadits tentang tarbiyah yang telah diriwayatkan oleh Muslim adalah hadits shahih, karena tidak ada sanad yang terputus atau dinilai cacat oleh para ahli hadits, seperti Abu Hatim, Ibnu Hibban, Yahya bin Ma’in, An Nasa’I, dan lainnya.
Untuk selanjutnya, hadits tentang ta’lim akan dibuatkan skema periwayatannya dalam Shahih Muslim.

Skema II
Jalur Periwayatan dalam Shahih Muslim
 


Rounded Rectangle: Muslim

Berdasarkan skema di atas dan keterangan sanad pada lampiran, dinyatakan bahwa hadits tentang ta’lim yang telah diriwayatkan oleh Muslim adalah hadits shahih, karena tidak ada sanad yang terputus atau dinilai cacat oleh para ahli hadits, seperti Ahmad bin Hambal, Al 'Ajli, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Ibnu Hajar al 'Asqalani, dan lainnya.
Untuk selanjutnya, hadits tentang tadris akan dibuatkan skema periwayatannya dalam Shahih Bukhari.

Skema III
Jalur Periwayatan dalam Shahih Bukhari
Rounded Rectangle: Anas bin ‘Iyadl bin Dlamarah
Rounded Rectangle: Bukhari

Berdasarkan skema di atas dan keterangan sanad pada lampiran, dinyatakan bahwa hadits tentang ta’lim yang telah diriwayatkan oleh Bukhari adalah hadits shahih, karena tidak ada sanad yang terputus atau dinilai cacat oleh para ahli hadits, seperti Yahya bin Ma'in, An Nasa'i, Ad Daruquthni, Ibnu Hibban, dan lainnya.
Untuk selanjutnya, hadits tentang ta’dib akan dibuatkan skema periwayatannya dalam Shahih Bukhari.

Skema IV
Jalur Periwayatan dalam Shahih Bukhari
Rounded Rectangle: Bukhari

Berdasarkan skema di atas dan keterangan sanad pada lampiran, dinyatakan bahwa hadits tentang ta’lim yang telah diriwayatkan oleh Bukhari adalah hadits shahih, karena tidak ada sanad yang terputus atau dinilai cacat oleh para ahli hadits, seperti Yahya bin Ma'in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Ibnu Hajar al 'Asqalani, dan lainnya.

E.   Biografi Periwayat Hadits
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al-Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H, Ia menyusun kitab Al-Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukkan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al-Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda-beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al-Laitsi al-Andalusi al-Mashmudi.[11]
Sejumlah Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al-Kutub as Sittah ditambah Al-Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al-Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata, “Al-Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mengetahui bandingannya.”[12]
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al-Muwaththa’ tidak semuanya musnad, ada yang mursal, mu’dlal dan munqathi’. Sebagian Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “dari orang kepercayaan”, tetapi hadits-hadits tersebut bersanad dari jalur-jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an-Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal, munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al-Muwaththa’ Malik.[13]
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al-Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az-Zuhry, Abi az-Ziyad, Sa’id al-Maqburi dan Humaid ath-Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as-Sahmi al-Anshari.[14]
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az-Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al-Auza’i, Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy-Syafi’I, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al-Qaththan dan Abi Ishaq.[15]
An-Nasa’I berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, terpercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.[16]
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.[17]

F.   Penjelasan Kandungan Hadits
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim nomor: 4656, menjelaskan tentang seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya, dan Allah mengutus seorang malaikat untuk menemui laki-laki tersebut.
Kata تَرُبُّهَا melihat pengertian hadits di atas diartikan dengan “menguntungkan dengannya”, yaitu pertanyaan malaikat Jibril AS kepada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim nomor: 836 menjelaskan tentang larangan berbicara dalam shalat dan seorang pendidik. Kata مُعْلِيْمًا pada hadits di atas diartikan sebagai seorang pendidik. Adapun pendidik menurut Yayan Ridwan, S.Pd.I.,M.Ag mengatakan:
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab untuk member pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebai hamba dan khalifah Allah swt, dan melakukan tugas sebagai makhluk individu yang mandiri.[18]
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidik artinya orang yang mendidik.[19]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor: 4190, dijelaskan (Bab keutamaan orang yang mendidik budak wanitanya). Kata “keutamaan tidak tercantum dalam riwayat Abu Dzar dan An-Nasafi. Namun An-Nasafi member tambahan lain, yaitu “dan memerdekakannya”. Dalam bab ini, Bukhari menyebutkan hadits Abu Musa secara ringkas. Adapun penjelasannya secara detail akan disebutkan pada pembahasan tentang nikah.[20]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor: 2361, dijelaskan (Bab “Katakanlah: bawalah Taurat dan bacalah jika kamu orang-orang yang benar). Dalam bab ini disebutkan hadits Ibnu Umar tentang kisah dua orang Yahudi yang berzina. Penjelasannya akan disebutkan pada pembahasan tentang hudud (hukum-hukum yang telah dijelaskan dalam nash).[21]
Adapun kalimat pada riwayat ini,  كَيْفَ تَفْعَلُوْنَ (bagaimana yang kalian perbuat), dalam riwayat Al-Kasymihani disebutkan كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ (bagaimana yang kamu kerjakan). Adapun kata nuhamminuha artinya kami menyiram air panas kepada keduanya. Ada juga yang mengatakan; Kami menghitamkan wajah keduanya. Penjelasan itu akan disebutkan ketika membahas hadits ini. Kata midrâsuha (tokoh agama) menurut versi Al-Kasymihani. Adapun periwayat selainnya menukil dengan lafazh midrâsuha (pengajarnya) berasl dari kata dirâsah (pelajaran), namun versi pertama lebih tepat.[22]

G.  Implikasi Hadits
1.    Tarbiyah
Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam hadits dengan istilah tarbiyah, ta’lim, tadris, dan tad’ib, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabbi’, kata tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba, yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam hadits tidak ditemukan kata tarbiyah, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.[23]
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kata-kata di atas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir[24] bahwa pendidikan merupakan arti dari kata tarbiyah  kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.  
Dalam literatur-literatur berbahasa Arab kata Tarbiyah mempunyai bermacam macam definisi yang intinya sama mengacu pada proses pengembangan potensi yang dianugrahkan pada manusia. Definisi-definisi itu antara lain sebagai berikut:
a.     Tarbiyah adalah proses pengembangan dan bimbingan jasad, akal dan jiwa yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga mutarabbi (anak didik) bisa dewasa dan mandiri untuk hidup di tengah masyarakat.[25]
b.     Tarbiyah adalah kegiatan yang disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian bijak dan menyenangkan; tidak membosankan.[26]
c.     Tarbiyah adalah proses yang dilakukan dengan pengaturan yang bijak dan dilaksanakan secara bertahap dari yang mudah kepada yang sulit.[27]
d.     Tarbiyah adalah mendidik anak melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yang mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[28]
e.     Tarbiyah adalah kegiatan yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan perasaan memiliki  terhadap anak didik.[29]
Para ahli memberikan definisi tarbiyah, bila diidentikkan dengan ‘arrab’ sebagai berikut;
1.    Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ar-rabb  adalah pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha menunaikan.[30]
2.    Menurut Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan.[31]
3.    Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-tarbiyah, yang mempunyai arti at-tanwiyah yang berarti (pertumbuhan dan perkembangan).[32]
4.    Al-Jauhari yang dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata tarbiyah dengan rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.[33]
Dari pandangan beberapa pakar tafsir ini maka kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain; memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.
Konsep tarbiyah merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting. Kosakata yang ada dalam hadits baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk isim. Kata-kata tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Rabba, yarbu, artinya tumbuh, bertambah, berkembang.[34]
2.    Rabbi, yarba, artinya tumbuh menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa.[35]
3.    Rabba, yarubbu, artinya memperbaiki, mengatur, mengurus, mendidik.[36]
Menurut Al-Attas, secara semantik istilah tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam pengertian Islam, sebagaimana dipaparkan[37]:
1.     Istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan sebagaimana dipergunakan di masa kini tidak bisa ditemukan dalam leksikon-leksikon bahasa Arab besar.
2.     Tarbiyah dipandang sebagai pendidikan, dikembangkan dari penggunaan Al Qur’an dengan istilah raba dan rabba yang berarti sama, tidak secara alami mengandung unsur-unsur esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.
3.     Jika sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan dengan pengetahuan disusupkan ke dalam konsep rabba, maka makna tersebut mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya.

2.    Ta’lim
Perkataan ta’lim dipetik dari kata dasar ‘allama (عَلَّمَ), yu‘allimu يُعَلِّمُ)) dan ta’lim (تَعْلِيْم). Yu‘allimu diartikan dengan mengajarkan, untuk itu istilah ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran (instruction). M. Thalib mengatakan bahwa ta’lim memiliki arti memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang belum tahu.[38]
Istilah Mu’allim atau pengajar yang berarti orang yang melakukan pengajaran, juga di munculkan dalam hadith[39], Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
اعملوا بطاعة الله واتقوا معاصى الله ومروا اولادكم بامتثا الاوامر واجتناب النواهى فذالك وقاية لهم ولكم من النّار
Artinya: “Ajarkanlah mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka.”
Dalam hal ini ungkapan (اعملو) diberikan kepada orang tua yang berlaku sebagai mu’allim sedangkan pelajarnya (muta’allim) atau yang diajari adalah anak-anaknya. Juga sabda beliau[40]:
خيركم من تعلّم القرأن و علّمه
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.”
Dalam hadith ini secara lengkap disebutkan ungkapan ta’alim (تعلّم), sedangkan ilmu yang dipelajari adalah Al-Qur’an serta disebutkan pihak yang mengajarkannya.
Ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim). Ta’lim juga mewakili ungkapan proses dari tidak tahu menjadi tahu.[41] Dari perkataan Sa’ad bin Waqash, memberi makna anak-anak yang tidak tahu tentang riwayat Rasulullah, diajarkan sehingga menjadi tahu.[42]
Namun, istilah ta’lim dari beberapa ayat diatas menunjukkan bahwa ilmu yang bisa untuk dialihkan meliputi semua ilmu termasuk diantaranya sihir. Sehingga memang istilah tersebut lebih dekat pada pengajaran bukan pendidikan, karena pendidikan dalam pengertian Islam tentu saja harus mengarah pada manusia yang lebih baik, sesuai peran dan fungsinya didunia ini.
Apabila pendidikan Islam diidentikkan dengan ta’lim, para ahli memberikan pengertian sebagai berikut;
1.     Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Ta’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. Ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.[43]
2.     Menurut Rasyid Ridho, ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah yang berbunyi:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ هَؤُلآءِ إِن كُنتُم صَادِقِينَ
Artinya : “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"[44]
Rasyid Ridho memahami kata ‘allama’ Allah kepada Nabi Adam as, sebagai proses tranmisi yang dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya daripada istilah tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.[45]
3.     Syed Muhammad an-Naquib al-Attas, mengartikan ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila ta’lim disinonimkan dengan tarbiyah, ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem.[46] Menurutnya ada hal yang membedakan antara tarbiyah dengan ta’lim, yaitu ruang lingkup ta’lim lebih umum daripada tarbiyah, karena tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
4.     Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian ta’lim berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan tarbiyah, karena ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan.[47]

3.    Ta’dib
Menurut Naquib al-Attas pengunaan ta’dib lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. Ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya. Kata ‘addaba  yang juga berarti mendidik dan kata ta’dib yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.[48]
Konsep ta’dib  yang digagas al-Attas adalah konsep pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan manusia beradab dalam arti yang komprehensif. Pengertian konsep ini dibangun dari makna kata dasar adaba dan derivasinya. Makna addaba dan  derivasinya, bila maknanya dikaitkan  satu sama lain, akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integratif.[49] Di antara makna-makna tersebut adalah, kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti. Makna ini identik dengan akhlak. Adab juga secara konsisten dikaitkan dengan dunia sastra, yakni adab dijelaskan sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang indah yang mencegah dari kesalahan-kesalahan.[50] Sehingga seorang sastrawan disebut adiib.  Makna ini hampir sama dengan definisi yang diberikan al-Jurjani, yakni ta’dib adalah proses memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan.[51]
Kata ta’dib adalah mashdar dari addaba yang sebenarnya secara konsisten bermakna mendidik. Berkenaan  dengan hal itu, seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian tersebut disebut juga mu’addib.[52] Setidaknya ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan, keempat makna itu saling terikat dan berkaitan. Seorang pendidik (muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu (ma’rifah) agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi Rasulullah SAW.
 Berdasarkan hal itu, al-Attas mendefinisikan adab dari analisis semantiknya, yakni, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirearki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual.[53] Dalam hal ini, al-Attas memberi makna adab secara lebih dalam dan komprehensif yang berkaitan dengan objek-objek tertentu yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial, alam dan Tuhan.[54] Beradab, adalah menerapkan adab kepada masing-masing objek tersebut dengan benar, sesuai aturan.
Pada dasarnya, konsep adab al-Attas ini adalah memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan. Berkenaan dengan hal ini, maka adab juga dikaitkan dengan syari’at dan Tauhid. Orang yang tidak beradab adalah orang yang tidak menjalankan syari’at dan tidak beriman (dengan sempurna).[55] Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.[56]
Dari uraian singkat tersebut, bisa dikatakan bahwa makna beradab secara sederhana adalah, tidak berbuat dzalim. Maksudnya, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dalam Primordial Covenant[57] dengan Allah SWT sebagai jiwa bertauhid. Apapun profesi manusia beradab, ikatan janji itu selalu ia aplikasikan dalam setiap aktifitasnya.[58] Oleh sebab itu, istilah yang paling tepat untuk pendidikan Islam menurut al-Attas adalah ta’dib bukan tarbiyah atau ta’lim. Term tarbiyah tidak menunjukkan kesesuaian makna, ia hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional manusia. Term tarbiyah juga diapakai untuk mengajari hewan. Sedangkan ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif. Akan tetapi ta’dib sudah menyangkut ta’lim (pengajaran) di dalamnya.[59] Singkatnya, konsep ta’dib mengandung makna yang lebih komprehensif dan integratif daripada tarbiyah.
Konsep ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang komprehensif, karena aspek-aspek ilmu dan proses pencapainya mesti dicapai dengan pendekatana tawhidy dan objek-objeknya diteropong dengan pandangan hidup Islami (worldview Islam).[60] Pendekatan tawhidy adalah pendekatan yang tidak dikotomis[61] dalam melihat realitas. Menurut al-Attas, pendidikan Islam bukanlah seperti pelatihan yang akan menghasilkan spesialis. Melainkan proses yang akan menghasilkan individu baik (insan adabi), yang akan menguasai pelbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan padandangan hidup Islam.[62]
Dapat disimpulkan, konsep ta’dib adalah konsep pendidikan yang bertujuan menghasilkan individu beradab, yang mampu melihat segala persoalan dengan teropong worldview Islam. Mengintegrasikan ilmu-ilmu sains dan humaniora dangan ilmu syari’ah. Sehingga apapun profesi dan keahliannya, syar’iah dan worldview Islam tetap merasuk dalam dirinya sebagai parameter utama. Individu-individu yang demikian ini adalah manusia pembentuk peradaban Islam yang bermartabat. Dalam tataran praktis, konsep ini memerlukan proses Islamisasi ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Karena, untuk mencapai tujuan utama konsep pendidikan ini, ilmu-ilmu tidak hanya perlu diintegrasikan akan tetapi, ilmu yang berparadigma sekuler harus diIslamkan basis filosofisnya. 

4.    Tadris
Tadris adalah upaya menyiapkan murid (mutadarris) agar dapat membaca, mempelajari dan mengkaji sendiri, yang dilakukan dengan cara mudarris membacakan, menyebutkan berulang-ulang dan bergiliran, menjelaskan, mengungkap dan mendiskusikan makna yang terkandung di dalamnya sehingga mutadarris mengetahui, mengingat, memahami, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan mencari ridla Allah (definisi secara luas dan formal).[63]
Al-Juzairi memaknai tadarrusu dengan membaca dan menjamin agar tidak lupa, berlatih dan menjamin sesuatu.[64]
Makna tadris (pengajaran bacaan secara berulang-ulang):[65]
1.  Tadris adalah suatu bentuk kegiaatan yang dilakukan oleh mudarris untuk membacakan dan menyebutkan sesuatu kepada mutadarris (murid) dengan berulang-ulang dan sering.
2.  Tadris bertujuan agar materi yang dibacakan atau yang disampaikan itu mudah dihafal dan diingat. Ia merupakan kegiatan pewarisan kepada murid dari para leluhurnya.
3.  Kegiatan dalam tadris tidak sekedar membacakan atau menyebutkan materi, tetapi juga disertai dengan mempelajari, mengungkap, menjelaskan, dan mendiskusikan isi dan maknanya.
4.  Tadris adalah suatu upaya menjadikan dan membelajarkan murid (mutadarris) supaya mau membaca, mempalajari, dan mengkaji sendiri.
5.  Dalam tadris, seorang murid (mutadarris) diharapkan mengetahui dan memahami benar yang disampaikan oleh mudarris (guru) serta dapat mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
6.  Tadris dilakukan dengan niat beribadah kepada Allah SWT dan mendapat ridla-Nya.
7.  Kegiatan belajar dalam tadris bisa berlangsung dengan cara saling bergantian atau bergiliran, yaitu sebagian membacakan sebagian lainnya memperhatikan dengan saling mengorerksi, membenarkan kesalahan lafal yang dibaca sehingga terhindar dari kekeliruan dan lupa.
8.  Tadris menunjukan kegiatan yang terjadi pada diri manusia dalam arti yang umum.
Dalam tadris tersirat adanya mudarris. Mudarris berasal dari kata darasa-yadrusu-darsan-wadurusan-wadirasatan yang artinya terhapus, hilang bekasnya, menghapus, melatih, dan mempelajari. Artinya guru adalah orang yang berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai bakat dan minatnya.[66]
Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusa mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan, sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.[67]
Berdasarkan hal di atas, tugas-tugas guru atau pendidik sangatlah berat, yang tidak hanya melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat ditentukan oleh seberapa banyak tugas yang telah dilakukan, sekalipun terkadang profesionalismenya itu tidak berimplikasi yang signifikan terhadap penghargaan yang diperolehnya.[68]
Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran nur keilmiahannya (‘Atha). Dan andaikala dunia tidak ada pendidik niscaya manusia seperti binatang sebab “Pendidik adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah.”[69]
Peran dan tanggung jawab guru dalam proses pendidikan sangat berat. Apalagi dalm konteks pendidikan Islam, dimana semua aspek kependidikan Islam terkait dengan nilai-nilai (value bound), yang meliputi guru bukan saja pada penguasaan material-pengetahuan, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral dan spiritual yang diembannya untuk ditransformasikan kearah pembentukan kepribadian anak didik. Sebagai komponen paling pokok dalam pendidikan Islam, guru dituntut bagaimana membimbing, melatih, dan membiasakan anak didik berperilaku yang baik. Karena itu, eksistensi guru tidak saja mengajarkan tetapi sekaligus mempraktikkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kependidikan Islam.[70]

Analisis perbandingan antara konsep ta’lim’, ta’dib tadris, dan tarbiyah
Istilah ta’lim’, ta’dib, tadris, dan tarbiyah dapatlah diambil suatu analisa. Jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik perbedaan antara satu dengan lainnya, namun apabila dilihat dari unsur kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain, yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak.
Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampain ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim di sini mencakup aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
Adapun ta’dib, titik tekannya adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.
Tadris, titik tekannya adalah upaya menyiapkan anak didik tidak hanya sekedar dalam hal membaca, tetapi juga disertai dengan investasi nilai-nilai moral dan spiritual yang diemban oleh guru untuk ditransformasikan kearah pembentukan kepribadian anak didik,  mencerdaskan serta melatih keterampilan, sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

H.  Penutup
Dengan pemaparan keempat konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keempatnya mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”, sehingga mampu mengarungi kehidupan ini baik sekarang maupun yang akan datang dengan baik.
Adapun mengenai kualitas hadits, berdasarkan hasil takhrij hadits, dapat disimpulkan bahwa konsep tarbiyah, ta’lim, tadris dan ta’dib dalam hadits adalah shahih, baik dari segi sanad dan matannya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’â Al-Karîm.
Artikel Sejarah Pendidikan Pada Zaman Rasulullah SAW, karya Anisa Bahyah bt. Haji Ahmad.
Abdullah, Abdurrahman Saleh, Educational Theory a Quranic Outlook, Terj. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007.
http://layananquran.com/plq/index.php. Diakses tanggal 15 Mei 2012.
http://id.lidwa.com/app/. Diakses tanggal 15 April, 20 Mei 2012.
Ridwan, Yayan, Ilmu Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Sedaun, 2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia offline versi 1.3 Freeware Ó2010-2011 by Ebta Setiawan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafidz, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah), Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Naquib al-Attas, Syed Muhammad, Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan, 1988.
___________________________, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 1987.
___________________________, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001.
___________________________, Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosda Karya, 1992.
Ibnu Jaris Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad, Jami’u’l-bayan ‘an Ta’wil ayatil Quran, Beirut: Darul Fikr, 1988.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsirul Maraghiy,  juz. III, Beirut: Darul Fikr, 1871.
_______________________, Tafsirul Maraghiy,  juz. V, Beirut: Darul Fikr, 1871.
Rohimin, Titi Saodah, Agus Salam, Hakikat Pendidikan. Makalah, tidak diterbitkan.
al-Qurtubi, Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari, Tafsir al-Qurtubi, Cairo: Durusy, t.th.
Ma’luf, Louis, Al-Munjid fi Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1960.
Razi,  Fathur, Tafsir Fathur Razi, Teheran: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Zuhairini,  Metodik pendidikan Islam, Malang: IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press, 1950.
Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Misriyah, t.th.
Thalib, M, Pendidikan Islam Metode 30 T, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996.
Jalal, Abdul Fattah, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Darul Kutub Misriyah, 1977.
Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Mesir: Dar al-Manar, 1373 H.
M. Athiyah,  Al-Abrasy, At-Tarbiyah al-Islamiyah (Penerjemah: Bustami A.Goni dan Djohar Bakry) Jakarta: Bulan Bintang. 1968.
Mustofa (dkk), Ibrahim, al-Mu’jam al-WasithI bab adab, Istanbul: al-Maktaba al-Islamiyah, 1380 H/1960 M.
Badaruddin, Kemas, Filsafat Pendidikan: Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
al-Jurjani, Syarif, Kitab Ta’rifaat, Beirut: Maktabah Lubnaniyah, 1995.
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), Bandung: Mizan, 2003.
Asy’ari, Hasyim, Adabu al-Alim wa al-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H.
Setia, Adi, Special Feature on the Phylosophy of Science of Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Science Journal of Islamic Perspektif on Science Vol I December 2003 No 2.
Guttenplan, Samuel, A Companion to the Philosophy of Mind, Oxford: Blackwell, t.th.
Rusiadi, Metodologi Pembelagaran Agama Islam, cet. II, Jakarta: Sedaun, 2012.
Muhammad Al-Ghazali,  Abu Hamid, Ihya’ Ulumuddin, Terjemah Ismail Ya’kub,  Faizan, cet. VI, Semarang: Mizan, 2000.
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.



LAMPIRAN KETERANGAN SANAD
TENTANG KONSEP TARBIYAH, TA’LIM, TADRIS DAN TA’DIB DALAM HADITS

Keterangan Sanad (1)
Nama Lengkap
:
·      Abdul A'laa bin Hammad bin Nashr
Kalangan
:
Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah
:
Abu Yahya
Negeri semasa hidup
:
Bashrah
Wafat
:
237 H
Komentar Yahya bin Ma'in
:
La ba`sa bih
Komentar Abu Hatim
:
Tsiqah
Komentar Ibnu Kharasy
:
Shaduuq
Komentar An Nasa'i
:
Laisa bihi ba`s
Komentar Ibnu Hibban
:
Disebutkan dalam ‘ats-tsiqat
Komentar Ibnu Hajar al 'Asqalani
:
La ba`sa bih
Komentar Adz Dzahabi
:
Muhaddits tsabat

Keterangan Sanad (2)
Nama Lengkap
:
Amru bin Muhammad bin Bukair bin Muhammad
Kalangan
:
Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah
:
Abu 'Utsman
Negeri semasa hidup
:
Baghdad
Wafat
:
232 H
Komentar Abu Hatim
:
Tsiqah
Komentar Ibnu Hajar al 'Asqalani
:
Tsiqah Hafid wahm fi hadist
Komentar Adz Dzahabi
:
Hafizh


Keterangan Sanad (3)
Nama Lengkap
:
·      Zuhair bin Harb bin Syaddad
Kalangan
:
Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah
:
Abu Khaitsamah
Negeri semasa hidup
:
Baghdad
Wafat
:
234 H
Komentar Yahya bin Ma'in
:
Tsiqah
Komentar Abu Hatim
:
Shaduuq
Komentar Ibnu Wadldlah
:
Tsiqah
Komentar An Nasa'i
:
Tsiqah ma`mun
Komentar Ibnu Hibban
:
Disebutkan dalam ‘ats-tsiqat
Komentar Ibnu Hajar al 'Asqalani
:
Tsiqah Tsabat
Komentar Adz Dzahabi
:
Al hafidz

Keterangan Sanad (4)
Nama Lengkap
:
·      Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsman
Kalangan
:
Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah
:
Abu Bakar
Negeri semasa hidup
:
Kufah
Wafat
:
235 H
Komentar Ahmad bin Hambal
:
Shaduuq
Komentar Abu Hatim
:
Tsiqah


Keterangan Sanad (5)
Nama Lengkap
:
·      Ibrahim bin Al Mundzir bin 'Abdullah
Kalangan
:
Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah
:
Abu Ishaq
Negeri semasa hidup
:
Madinah
Wafat
:
236 H
Komentar Yahya bin Ma'in
:
Tsiqah
Komentar Ad Daruquthni
:
Tsiqah
Komentar Ibnu Wadldlah
:
Tsiqah
Komentar An Nasa'i
:
Laisa bihi ba`s
Komentar Ibnu Hibban
:
Disebutkan dalam ‘ats-tsiqat
Komentar Adz Dzahabi
:
Shaduuq

Keterangan Sanad (6)
Nama Lengkap
:
·      Muhammad bin Katsir
Kalangan
:
Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah
:
·      Abu 'Abdullah
Negeri semasa hidup
:
Bashrah
Wafat
:
223H
Komentar Yahya bin Ma'in
:
Lam yakun bi tsiqah
Komentar Abu Hatim
:
Shaduuq
Komentar Ibnu Hibban
:
Disebutkan dalam ‘ats-tsiqat
Komentar Ibnu Hajar al 'Asqalani
:
Tsiqah





[1] QS. Al-Alaq: 1.
[2] Artikel Sejarah Pendidikan Pada Zaman Rasulullah SAW karya Anisa Bahyah bt. Haji Ahmad. Hal: 1.
[3] Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook, Terj. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007. Hal: 21
[4] http://layananquran.com/plq/index.php. Diakses secara online tanggal 15 Mei 2012. 19.30.
[5] QS. Al-An’am: 38.
[6] QS. An-Nahl: 89.
[7] Hadits Shahih Muslim, nomor : 4656. Diakses secara online melalui situs http://id.lidwa.com/app/. tanggal 15 April 2012, 19.30.
[8] Ibid., nomor: 836.
[9] Hadits Shahih Bukhari, nomor: 4190. Diakses secara online melalui situs  http://id.lidwa.com/app/. tanggal 20 Mei 2012, 19.30.
[10] Ibid., nomor: 2361.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Abdul Karim bin Abi al-Mukharif al-Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaannya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentakhrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan.
[18] Yayan Ridwan, Ilmu Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Sedaun, 2011. Hal: 61
[19] Kamus Besar Bahasa Indonesia offline versi 1.3 Freeware Ó2010-2011 by Ebta Setiawan.
[20] Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah), Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Hal: 243.
[21] Ibid., Hal: 251-252.
[22] Ibid., Hal: 252.
[23] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan, 1988. Hal: 12.
[24] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosda Karya, 1992. Hal: 5.
[25] Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jaris Ath-Thabari, Jami’u’l-bayan ‘an Ta’wil ayatil Quran, Beirut: Darul Fikr, 1988. Hal: 67.
[26] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsirul Maraghiy,  juz. V, Beirut: Darul Fikr, 1871. Hal: 34.
[27] Rohimin, Titi Saodah, Agus Salam, Hakikat Pendidikan. Tidak diterbitkan. Hal: 4.
[28] Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari…. Hal: 162.
[29] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsirul Maraghiy,  juz. III…. Hal: 97.
[30] Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Cairo: Durusy, t.th. Hal: 15.
[31] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1960. Hal: 6.
[32] Fathur Razi,  Tafsir Fathur Razi, Teheran: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th. Hal: 12.
[33] Zuhairini,  Metodik pendidikan Islam, Malang: IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press, 1950. Hal: 17.
[34] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Misriyah, t.th. hal: 145.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan.... Hal: 65.
[38] M. Thalib, Pendidikan Islam Metode 30 T, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996. Hal: 16.
[39] Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Darimi dari Abu Umamah Al Bahili r.a
[40] HR. Bukhari.
[41] QS. Al-Baqarah: 239.
كُـنَّا نُعَـلِّمُ أَوْلاَدَنَا مَغـَازِىْ رَسُوْلِ اللهِ صَـلىَّ اللهُ عَلَيـْهِ وَسَـلَّمَ كَمَـا نُعَلِّمُـهُمُ السُّـوْرَةَ مِـنَ الْقُـرْآنِ
[43] Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Darul Kutub Misriyah, 1977. Hal: 32.
[44] QS. Al-Baqarah: 31.
[45] Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar, Mesir: Dar al-Manar, 1373 H. Hal: 42.
[46] Syed Muhammad Naquib al-Attas,  Konsep Pendidikan.... Hal: 17.
[47] Al-Abrasy M. Athiyah,  At-Tarbiyah al-Islamiyah (Penerjemah: Bustami A.Goni dan Djohar Bakry) Jakarta: Bulan Bintang. 1968. Hal: 32.
[48] Ibid., Hal: 19.
[49] Pendidikan Integratif adalah pendidikan yang tidak berdasarkan kepada metode dikotomis yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Al-Attas sepakat dengan al-Ghazali yang membagi ilmu secara hirarkies, yaitu ilmu fardlu ‘ain (ilmu tentang rukun iman, rukun Islam, perbuatan haram, dan ilmu yang berkaitan dengan amal yang akan dilakukan), dan ilmu fardlu kifayah, yang termasuk di dalamnya ilmu syariah dan ilmu non-syariah atau umum). Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 1987. Hal: 90.
[50] Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan: Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Hal: 59.
[51] Syarif al-Jurjani, Kitab Ta’rifaat, Beirut: Maktabah Lubnaniyah, 1995. Hal: 10.
[52] Istilah ta’dib juga telah dipakai tokoh sufi sebagai sebuah istilah untuk pendidikan pengembangan pribadi, akal dan moral. Lihat Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005.
[53] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), Bandung: Mizan, 2003. Hal: 177.
[54] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001. Hal: 47.
[55] Hasyim Asy’ari, Adabu al-Alim wa al-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H. Hal: 11.
[56] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik……, Hal: 174.
[57] QS. Al-A’râf: 172.
[58] Filsafat sains al-Attas secara sistematis berdasarkan pada ilmu tasawwuf dimana semua aktifitasnya ditujukkan untuk pengabdian tinggi kepada Tuhan. Lihat Adi Setia, Special Feature on the Phylosophy of Science of Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Science Journal of Islamic Perspektif on Science Vol I December 2003 No 2. Hal: 172.
[59] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik……, Hal: 180.
[60] Islamic worldview dalam pandangan al-Attas adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang Nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil wujud). Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995. Hal: 2.
[61] Dikotomis adalah pendekatan yang memisahkan objek saling berlawanan, misalnya antara jiwa dan raga tidak ada kaitan. Pendekatan ini disebut juga dualisme pemikiran. Pemikiran filasafat ini dipelopori tokoh-tokoh filasafat Barat seperti Pytagoras, Plato dan Rene Descartes. Lihat Samuel Guttenplan, A Companion to the Philosophy of Mind, Oxford: Blackwell, t.th. Hal: 5-7.
[62] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik……, Hal: 186.
[64] Ibid.
[66] Rusiadi, Metodologi Pembelagaran Agama Islam, cet. II, Jakarta: Sedaun, 2012. Hal: 13.
[67] Yayan Ridwan, Ilmu Pendidikan….. Hal: 65.
[68] Ibid.
[69] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali,  Ihya’ Ulumuddin, Terjemah Ismail Ya’kub,  Faizan, cet. VI, Semarang: Mizan, 2000. Hal: 65-70.
[70] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Hal: 219.

FUNGSI, TUJUAN DAN KEGUNAAN EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

FUNGSI, TUJUAN DAN KEGUNAAN EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM
Oleh:
Rahmadawati[1]

Abstrak
Evaluasi adalah sebagai suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan peserta didik untuk tujuan pendidikan.[2] Evalusi Pendidikan adalah sistem yang diterapkan pada peserta didik untuk mengetahui keberhasilan pendidikan yang dilaksanakan.[3] Sedangkan evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam.[4] Evaluasi digunakan sebagai alat untuk menentukan suatu tujuan pendidikan dicapai atau tidak. Tentunya evaluasi ini tidak hanya memiliki tujuan saja, tetapi juga memiliki fungsi dan kegunaan.
Evaluasi pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual religious.

Kata kunci : evaluasi, evaluasi pendidikan Islam, tujuan, fungsi dan kegunaan

A.       PENDAHULUAN
Secara harfiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, evaluation, yang berarti penilaian atau penaksiran. Dalam bahasa Arab, dijumpai istilah imtihân, yang berarti ujian, dan khataman yang berarti cara menilai hasil akhir dari proses kegiatan.[5] Salah satu tujuan evaluasi pendidikan adalah untuk mengetahui ketercapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan evaluasi, suatu kegiatan dapat diketahui atau ditentukan taraf kemajuannya. [6]
Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkannya. Abdul Mujib dkk mengungkapkan, bahwa untuk mengetahui pencapaian tujuan pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan oleh peserta didik diperoleh melalui evaluasi.[7] Dengan kata lain, penilaian atau evaluasi digunakan sebagai alat untuk menentukan suatu tujuan pendidikan dicapai atau tidak.[8] Atau untuk melihat sejauhmana hasil belajar siswa sudah mencapai tujuannya.
Pada hakikatnya, belajar adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku (behavioral change) pada diri peserta didik. Perubahan tingkah laku tersebut tentunya harus berdasarkan usaha dari peserta didik. Seorang guru hanya sebagai fasilitator dan motivator untuk mendukung perubahan peserta didik.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa tujuan utama dari kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah agar siswa dapat menguasai bahan-bahan belajar sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.[9] Untuk mencapai hal tersebut, tentunya seorang guru harus melakukan berbagai usaha mulai dari menyusun rencana pembelajaran, menentukan strategi yang sesuai dengan materi yang diajarkan, pemilihian media yang sesuai sampai pelaksanaan evaluasi pembelajaran dan umpan balik.
Jika seorang guru merasa bertanggung jawab terhadap penyempurnaan pembelajaran yang berlangsung, maka seorang guru diharuskan untuk melakukan evaluasi terhadap media yang digunakannya. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan dari media yang telah digunakan sehingga seorang dapat mengetahui perubahan-perubahan apa yang seharusnya dilakukan agar proses pembelajaran dapat berlangsung lebih efektif. Untuk itu, diperlukan suatu alat ukur atau barometer yang dapat mengungkapkan prestasi belajar siswa sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas secara sederhana apa saja fungsi-fungsi evaluasi pendidikan Islam, tujuan evaluasi pendidikan Islam serta kegunaan evaluasi pendidikan Islam. Ketiga hal tersebut akan penulis bahas pada pembahasan selanjutnya.

B.       PEMBAHASAN
1.     Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam
Secara garis besar dalam proses belajar mengajar, evaluasi memiliki fungsi pokok,[10] sebagai berikut:
1.     Mengukur kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar mengajar selama jangka waktu tertentu.
2.     Untuk mengukur sampai di mana keberhasilan sistem pengajaran yang digunakan.
3.     Sebagai bahan pertimbangan dalam rangka melakukan perbaikan proses belajar mengajar.
Dalam rangka menerapkan prinsip keadilan dan keikhlasan, evaluasi pendidikan berfungsi:[11]

  1. Penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan-peranan masa hadapan dan pemindahan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.
  2.  Pemindahan pengetahuan kepada generasi muda.
  3. Pemindahan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi muda.
  4. Mendidik anak didiknya beramal di dunia ini untuk memetik hasilnya di akhirat.
Seorang pendidik melakukan evaluasi di sekolah mempunyai fungsi sebagai berikut:[12]
1.     Untuk mengetahui atau mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dan kemajuan yang diperoleh peserta didik dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum pendidikan agama.
2.     Mengetahui prestasi hasil belajar guna menetapkan keputusan.
3.     Untuk mengetahui efektivitas cara belajar dan mengajar yang telah dilakukan benar-benar tetap atau tidak, baik yang berkenaan dengan sikap guru maupun peserta didik.
4.     Mengetahui kelembagaan guna menetapkan keputusan yang tepat dan mewujudkan persaingan sehat, dalam rangka berpacu dalm prestasi.
5.     Untuk mengetahui sejauh mana kurikulum telah dipenuhi dengan proses kegiatan belajar mengajar.
6.     Untuk mengetahui pembiayaan yang dibutuhkan dan yang dikeluarkan dalam berbagai kebutuhan.
7.     Sebagai bahan laporan terhadap orangtua peserta didik.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan Oemar Hamalik, bahwa fungsi evaluasi adalah untuk membantu peserta didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan padanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya, selain itu juga dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adequate (cukup memadai) metode pengajaran serta membantu dan mempertimbangkan administrasinya.[13] Sementara pendapat lain mengemukakan, evaluasi berfungsi sebagai:[14]
1.     Mengidentifikasi dan merumuskan jarak dari sasaran-sasaran pokok dari kurikulum secara komprehensif;
2.     Penetapan bagi tingkah laku apa yang harus direalisasikan oleh siswa;
3.     Menyeleksi atau membentuk instrumen-instrumen yang valid, terpercaya dan praktis untuk menilai sasaran-sasaran utama proses kependidikan atau ciri-ciri khusus dari perkembangan dan pertumbuhan manusia didik.
Adapun fungsi evaluasi menurut Abudin Nata[15] adalah:
1.     Mengetahui tercapai tidaknya tujuan.
2.     Memberi umpan balik bagi guru dalam melakukan proses pembelajaran.
3.     Untuk menentukan kemajuan belajar.
4.     Untuk mengenal peserta didik yang mengalami kesulitan.
5.     Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar yang tepat.
6.     Bagi pendidik, untuk mengatur proses pembelajaran. Bagi peserta didik untuk mengetahui kemampuan yang telah dicapai, bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil tidaknya pelaksanaan program.
Selain itu, ada beberapa fungsi lain yang bisa disebut, yaitu: fungsi seleksi, fungsi penempatan, fungsi pengukur keberhasilan dan fungsi diagnosis.[16]
2.     Tujuan Evaluasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan. Menurut Anas Sudijono, tujuan evaluasi adalah, pertama, untuk mencari informasi atau bukti-bukti tentang sejauhmana kegiatan-kegiatan yang dilakukan telah mencapai tujuan, atau sejauhmana batas kemampuan yang telah dicapai oleh seseorang atau sebuah lembaga. Kedua, untuk mengetahui sejauhmana efektifitas cara dan proses yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut.[17]
Menurut Abdul Mujib dkk,[18] tujuan evaluasi adalah:
1.     Mengetahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian, dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan mengetahui tingkat perubahan perilakunya.
2.     Mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya.
3.     Mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil pendidikan yang telah dicapai untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.[19]
3.     Kegunaan Evaluasi Pendidikan Islam
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam,[20] sebagai berikut:
1.     Dari segi pendidik, yaitu untuk membantu seorang pendidik mengetahui sejauhmana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
2.     Dari segi peserta didik, yaitu membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
3.     Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, untuk membantu para pemikir pendidikan Islam mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
4.     Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam, untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akn diterapkan dalam sistem pendidikan nasional (Islam).
Sementara itu, sasaran evaluasi pendidikan meliputi: peserta didik dan juga pendidik untuk mengetahui sejauhmana ia bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.[21] Sementara menurut Abudin Nata, bahwa sasaran evaluasi yaitu untuk mengevaluasi peserta didik, pendidik, materi pendidikan, proses penyampaian materi pelajaran, dan berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan materi pendidikan.[22]
Sasaran-sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya melihat empat kemampuan peserta didik,[23] yaitu:
1.     Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
2.     Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3.     Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.
4.     Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah Swt, anggota masyarakat serta selaku khalifah-Nya di muka bumi.

C.       PENUTUP
1.     Kesimpulan 
Evaluasi pada hakikatnya adalah upaya untuk mencari informasi apakah proses, tujuan, kebijakan, atau kondisi yang diinginkan telah dicapai. Untuk mengetahui ini perlu ditentukan apa sesungguhnya sasaran yang dievaluasi, beserta domain, dimensi serta indikator-indikatornya. Lalu bagaimana teknik yang valid dan reliable untuk bisa digunakan menggali informasi.
Pendidikan Islam merupakan sistem yang memiliki beberapa karakteristik berbeda dengan pendidikan pada umumnya, terutama karena agama (Islam) tidak sekedar menjadi mata pelajaran, tetapi paradigma yang melandasi dasar dan tujuannya.
Oleh karena itu harus mengembangkan sendiri evaluasi yang sesuai dengan karakternya sendiri. Model, teknik, dan instrumen evaluasi yang tidak tepat akan melahirkan informasi dan keputusan yang tidak tepat juga, sehingga tidak akan memberikan informasi yang tepat terhadap pencapaian tujuan-tujuan Pendidikan Islam yang sesungguhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin dkk, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2005,,
Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, cet. I., Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.
Athiyah al-Abrasyî, Muhammad, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Saudi Arabia: Dar Al-Ahya’, t.th.
Hamalik, Oemar, Pengajaran Unit, Bandung: Alumni, 1982.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, cet. II.,  Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989.
Lubis, Khoiruddin, Merencanakan Evaluasi Program Pendidikan Agama Islam, t.th.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, cet. V., Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2008.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, cet. II., Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2005.
___________, Ilmu Pendidikan Islam, cet. I., Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. 10., Jakarta: Kalam Mulia, 2008.
Ridwan, Yayan, Ilmu Pendidikan Islam, cet. I., Jakarta: Sedaun, 2011.
Siddik, Muhammad, Evaluasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama (SMP), t.th.
Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo, 2006.
Zuhairini, dkk., Metodik Khusus pendidikan Agama, Surabaya: Usaha Nasional, 1981.



[1] Mahasiswi STAI Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas, Tahun 2012, Semester VB, Jurusan Tarbiyah,  Program Studi Pendidikan Agama Islam, Mata Kuliah Pengembangan Sistem Evaluasi PAI, Dosen Pengampu: Kaspullah, S.Ag., M.S.I.
[2] Oemar Hamalik, Pengajaran Unit, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 106.
[3] Yayan Ridwan, Ilmu Pendidikan Islam, cet. I., Jakarta: Sedaun, 2011, hlm. 27.
[4] Zuhairini, dkk., Metodik Khusus pendidikan Agama, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, hlm. 139.
[5] Muhammad Siddik, Evaluasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama (SMP), t.th., hlm. 2.
[6] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, cet. I., Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 307.
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. 10., Jakarta: Kalam Mulia, 2008, hlm. 220.
[8] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, cet. II.,  Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989, hlm. 120.
[9] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, cet. V., Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2008, hlm. 225.
[10] Khoiruddin Lubis, Merencanakan Evaluasi Program Pendidikan Agama Islam, t.th., hlm. 2.
[11] Ibid., hlm. 2-3.
[12] Ramayulis, Ilmu Pendidikan……., hlm. 224.
[13] Oemar Hamalik, Pengajaran Unit, hlm. 212.
[14] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, hlm. 167.
[15] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2005, hlm. 188.
[16] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008, hlm. 10-11.
[17] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo, 2006, hlm. 18.
[18] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, cet. II., Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 211.
[19] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, cet. I., Jakarta: Ciputat Pers, 2002, hlm. 53.
[20] Al-Rasyidin dkk, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm. 77-78.
[21] Muhammad Athiyah al-Abrasyî, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Saudi Arabia: dar Al-Ahya’, t.th., hlm. 362.
[22] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan…….., hlm. 308.
[23] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam……, hlm. 162-163.